Jumat, 25 November 2022

Hak Anak Dalam Islam

 

Hak Anak sesuai Konvensi Hak-hak Anak PBB 1989


Makan klaapertart ga ngajak Dara Arafah | Mau berbuart, tapi ga mau ngasi nafkah

_______

Sampe "berbuart", saking gemes ðŸ˜¶


HAK ANAK DALAM ISLAM


18 tahun jadi orang tua, masih belepotan sana-sini. Orang tua dan yang akan jadi orang tua memang mestinya selalu belajar, haus ilmu jadi ortu. Antara lain supaya Indonesia - negeri muslim terbesar sejagat ini - ga malu-maluin nangkring di rangking 3 Negara Tanpa Ayah.


Jadi pemenuhan hak anak ini ga spesial buat ayah ibu saja, tapi juga semua orang dewasa yang punya otoritas ngurusin hajat hidup anak termasuk pendidik dan umara (pemerintah).


Let's go.


Pertama, anak punya hak hidup, tumbuh, berkembang sesuai fitrah (Al-Qur'aan Surat At-Tiin: 4, Al-An'am: 151). Di Al-Isra: 31 dilarang membunuh anak atas alasan apapun, termasuk takut miskin. Aborsi tanpa alasan medis, haram. No debat. Atau hidup, tapi menyelisihi fitrah ya terlarang juga. Fitrah Based Education (FBE)nya Allahyarham Ust. Harry Santosa sila ditengok lagi.


Kedua, hak kejelasan nasab dan identitas (Al Ahzab: 5). Pernikahan bikin nasab jadi jelas, sekaligus demarkasi bagi hak-hak yang terputus karena ketiadaan lembaga pernikahan (anak hasil zina, misalnya) seperti perwalian dan waris. Walau hasil tes DNA bilang kromosom lelaki itu 99,9% identik dengan si anak, selama ga ada pernikahan, nasab terputus. No bin or binti. Crystal clear.


Ga adil banget ke perempuan? 'Kerugian' di perempuan gegara secara biologis dia yang harus hamil dan melahirkan. Lakinya cuma jadi penyumbang sperma. Makanya wahei perempuan-perempuan, jangan bodoh, kecuali lelaki yang kau kira salih rupanya buaya air yang naik ke darat.


Atau pernah liat reality show Maury "You Are (or Are Not) the Father!"? Gimana Amerika flexing ambyarnya tatanan masyarakat. Jadi, "Anakmu Yang Selama Ini Kau Kira Beneran Anakmu Ternyata Anak Lelaki Lain" ðŸ˜©ðŸ˜©ðŸ˜©.


Ambyar to the max!


Hak kejelasan identitas juga termasuk memberi nama yang baik buat anak. Jangan ngaco ngasi nama anak, walaupun nama ngaco berpotensi viral di medsos.


Ketiga, hak mendapat air susu ibu (Al-Baqarah: 233). Jadi dalam Islam, ASI itu hak anak, ya, Bun. Ini bukan karna hasrat julid merundung para ibu yang ga menyusui bayinya. Ini ngingetin karena cinta. Muah muah ❤️


Keempat, hak nafkah (masih QS 2: 233). Nafkah bukan saja sandang, pangan, atap. Bukan hanya nafkah lahir, namun juga batin. Orang tua, khususnya ayah harus kerja keras bagai kuda? Ya memang. Disangka nikah cuma legalisasi status sama si ayang? True banget idiom nikah ga cukup modal cinta, apalagi kalo di situ responsibility (qawwamah) ga katut.


Ga bosen ngingetin soal kewajiban nafkah karena sampe sekarang masih sering terima curhatan tentang erornya tanggung jawab bapak/suami soal nafkah. Cukup jelas ya dosa ga menafkahi dikenakan bagi kepala rumah tangga yang malas memberi nafkah. Yang ga mau, bukan ga mampu, apalagi ga mampu karena alasan sistemik - bener-bener sulit cari pekerjaan misalnya.


Kelima, hak pendidikan (QS At-Tahrim: 6). Saya inget banget pak yai penghulunya bestie Tri Agustiana dan suami sampe nangis gara-gara pengantin minta mahar ayat ini. Isinya memang berad: wajib melindungi dan menjaga diri dan keluarga dari siksa api neraka. Allahu yahdiik ..


Melindungi dari siksa neraka bukan dengan ngurung anak dalam rumah trus dicegah ga berinteraksi dengan "setan-setan di luar sana", tapi menegakkan prinsip pendidikan yang bakal jadi karakter permanen si anak, baik lewat teladan, pengajaran, pengondisian. Si anak dikasi imunitas, bukan disterilisasi.


Pendidikan paripurna dunia akhirat.


Keenam, hak asuhan yang baik (QS Al-Ahqaf: 15) khususnya gizi, lingkungan, kesehatan. Jadi bukan sekadar anak makan kenyang, tapi harus bergizi. Bukan sekadar anak punya rumah tinggal, tapi harus disediakan lingkungan yang baik. Terkandung juga di poin ini hak anak atas kesehatan, sejak ia janin dalam rahim ibu.


"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya." (An Nisaa: 9). Sabda Nabi SAW: al mu'miinul qowiyy khoyru wa ahabbu ilallah (hadits shahih Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan An Nasa'i). Mukmin yang setrong lebih baik dan lebih dicintai Allah, SWT.


Ketujuh, hak mendapat persamaan derajat (Al-Hujuraat: 13). Anak laki ma anak perempuan di keluarga itu boleh ngambil potongan tempe jumlah yang sama, sama-sama boleh sekolah tinggi, dst. Atau misal di lembaga pendidikan, anak suku A ga boleh diistimewakan dibanding anak suku lain yang dianggap inferior, dst.


Kedelapan, hak dimintai pendapat soal urusannya (Al-Anbiya: 85). Pada banyak kasus, strict parent mengira apa yang diputuskan untuk anak pasti yang terbaik, entah itu pilihan model pakaian sampe sekolah, kuliah, dll. Lupa bahwa Nabi Ibrahim as waktu mau nyembelih Ismail as atas perintah Allah SWT, si putra kesayangan dimintai pendapat dulu. Kita (kita?) sering "nyembelih" anak dengan otoritas "Kamu mana bisa kuliah kalo ga Ayah yang bayarin" dan sejenisnya.


Kesembilan, hak atas harta benda atau waris (An-Nisaa: 11). Cukup jelas, ya. Rinci dan detail banget Al-Qur'an ngejelasin soal waris.


Kesepuluh, hak mendapat cinta kasih tanpa pilih kasih. Ingat bagaimana Nabi SAW menegur seorang badui yang tak pernah sekalipun memeluk dan mencium anak-anaknya? Lalu, selain yang baik-baik, Al Qur'an juga ngasih pelajaran bad parenting antara lain lewat kisah lejen pilih kasihnya Ya'qub as yang berujung bikin celaka ananda intan bayong Yusuf as. “Bertakwalah kepada Allah. Bersikap adillah terhadap anak-anakmu,” (HR Bukhari). 


Kesebelas, hak bermain. Ilustrasinya dari kitab al-Fawaid al-Mukhtaroh dan kitab Tatsbit al-Fuad berikut ini.


Seseayah ngadu ke ulama salih tentang anak yang menurutnya kebanyakan bermain. Dia bawa tuh anaknya. Orang salih justru ngambil tangan si anak dan bilang, "Ayo sana bermainlah, Nak." 


Si ayah auto-heran: "Mengapa?"


Ulama salih jawab, ”Biar dia habiskan naluri "bermain"nya sekarang karena memang masih usia bermain. Jika dilarang, nanti dia akan terus bermain meski sudah bukan usianya."


Imam Ghazali mengaminkan kebutuhan bermain ini sebagai hak anak yang harus dipenuhi oleh orang dewasa.


Entah apa ini berlaku juga bagi anak yang kebanyakan main Free Fire atau Moba? ðŸ¤”


Wallahu a'lam bish shawab.

Ayo, dik susi!


Detti Febrina 14112022


Foto ilustrasi Konvensi Hak-hak Anak PBB Tahun 1989, mak plek sesuai dengan hak anak dalam Islam. Allahu ya'lu walaa yu'la alayh ..

Share:

Kamis, 15 September 2022

Contoh Kata Sambutan Dalam Bahasa Inggris


Berikut contoh kata sambutan (welcome speech atau welcome remark) dalam bahasa Inggris yang Saya susun buat paksuami waktu belio mau membuka kegiatan mahasiswa.

Silakan kopas dan sunting ya bagi yang membutuhkan.

[Foto cumo pemanos, yo. Bukan ilustrasi jugo]


Welcome Remark


Assalaamu'alaikum Wr Wb


Good morning, everyone!


I hope a very pleasant good morning to each and every one of you, and I hope you’re all in good health.


Thank you for having me in this welcoming remark, but before I start, have you guys know me already?


My name is Supry Ali, Head of Department of Bussiness Administration FISIP UNILA, and on behalf of the department, I want to welcome you: first, the judges (sebutin nama2nya: ...) - it's an honor to have you here, ladies and gentlemen.


And then, to all participants, whether you come from FISIP Unila or as our guests coming from anywhere. Glad to have you here.


And last but not least, to you guys, committees of this PITCHING IDEAS COMPETITION on BUSSINESS EXPO 2022, i appreciate this awesome event as positive ideas. Keep up the good work, guys!


This kind of competition is somewhat have positive vibes not only to hone your intellectual capability, but also take your confidence on higher level. This kind of competition is a best practice to challenge not only your inteligence and skill, but also your gut. As youths, I recomend that you should find more competitions like this, whether than compete on something that useless or empty.


Lastly, without taking any more of your time, I open this PITCHING IDEAS COMPETITION on BUSSINESS EXPO 2022 FISIP UNILA. Bismillaahirrahmaanirrahiim.


Let all the joy begin! And have a happy competition!


Wassalam



======



Artinya:


KATA SAMBUTAN/PEMBUKAAN


 Assalamu'alaikum Wr Wb


 Selamat pagi semuanya!


 Saya berharap pagi yang menyenangkan untuk Anda semua, dan saya harap Anda semua dalam keadaan sehat.


 Terima kasih telah memperkenankan Saya menyampaikan sambutan ini, tetapi sebelum saya mulai, apakah kalian sudah mengenal saya?


 Nama saya Supry Ali, Kepala Departemen Administrasi Bisnis FISIP UNILA, dan atas nama departemen, saya ingin menyambut Anda: pertama, para juri (sebutin nama2nya: ...) - suatu kehormatan Anda di sini, Bapak-Ibu sekalian.


 Kemudian kepada seluruh peserta, baik yang berasal dari FISIP Unila maupun sebagai tamu kami yang datang dari mana saja.  Senang memiliki Anda di sini.


 Dan last but not least, untuk kalian para panitia PITCHING IDEAS COMPETITION di BUSSINESS EXPO 2022, saya menghargai acara yang luar biasa ini sebagai ide-ide positif.  Tetaplah bekerja dengan baik, teman-teman!


 Kompetisi semacam ini agaknya memiliki aura positif tidak hanya untuk mengasah kemampuan intelektual Anda, tetapi juga membawa kepercayaan diri Anda ke level yang lebih tinggi.  Kompetisi semacam ini adalah praktik terbaik untuk menantang tidak hanya kecerdasan dan keterampilan Anda, tetapi juga keberanian Anda.  Sebagai anak muda, saya menyarankan agar Anda menemukan lebih banyak kompetisi seperti ini daripada bersaing pada sesuatu yang tidak berguna atau kosong.


 Terakhir, tanpa membuang waktu lagi, saya membuka KOMPETISI IDE PITCHING di BUSSINESS EXPO 2022 FISIP UNILA ini.  Bismillaahirrahmaanirrahiim.


 Biarkan semua kegembiraan dimulai!  Dan selamat berkompetisi!


Wassalam.

Share:

Selasa, 30 Juni 2020

Jangan

Jangan sanjung seseorang berlebihan, karena kita belum tentu mengerti kelemahan apa yang ia simpan.

Qifa, waktu ditengokin ke pondok dan akhirnya nemenin umi tidur di teras masjid lama.


Baru saja menghentikan Pacer app pada langkah ke 3555. Ya, orang gila macam apa yang pukul 00.58 begini justru berolahraga. Orang gila yang di jam yang sama justru update blog ..

Sudah lama ga journalling. Entah mengapa dini hari begini pengen journalling lagi. Karena menuliskannya di Facebook atau Instagram tampak bak berteriak. Blog terasa lebih privat.

Maka inilah dia.

Sepekan kemarin penuh warna dan cerita. Beberapa bulan terakhir penuh warna dan cerita.

Tapi aku sedang ingin bercerita tentang satu pekan terakhir saja.

Info pelatihan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) baru kudapat H-2. Tepat saat dalam perjalanan nyetir dari Tanggamus. Dan esoknya hadir di Seminar Hasil Caca plus bimbingan dengan pembimbing II.

Padahal Garuda hari Jumat sudah dipesan.

Tak ada waktu santai ria. Bahkan santai kini bermakna harus menggenapkan langkah ke-6000, sukur-sukur ke-10.000.

Dan kebiasaan menunda itu berbuah tiadanya pesawat pagi untuk hari Rabu. Jadilah Selasa malam harus siap naik Damri. Ndilalah Pak petugas Damri yang menjanjikan banyak bus akan berangkat pukul 22.00 tiada lagi ada di loket.

Singkatnya malam itu akhirnya berburu travel menuju Jakarta ditemani kakak cilak, Mas Anto. Purnagama, Bintang Mas sudah pun ditemui. Nihil.

Lanjut bismillah, nyetop travel Bakauheni di bypass dekat Lapangan Ria Panjang saja. Jam berapa itu? Yang jelas sudah lewat pukul 22.00.

Allah Maha Baik, diperjumpakan dengan travel yang akan menuju Jakarta dan siap antar sampai tempat. Travel AsSalaam sebutannya. Sempat hampir kena tilang sebelum memutar masuk Hotel Royal Kuningan, saya berteman dengan Ali si supir travel.

***

Ga selesai ya? Yaiya. Karena ini postingan 4 Sept 2018 yang mengendap jadi draft dan ga kepublish hingga usia domain lupa diperpanjang dan mangkrak hingga hari ini. *** postingan jajal masihkah blog ini layak update :DDD


Share:

Sabtu, 02 Desember 2017

Pembingkaian dalam Penyebutan Jumlah Peserta Aksi 212

lewatmana.com
Ini late post setahun lampau yang sudah dimuat di sini. Menggunakan pendekatan kuantitatif agar bisa dibaca seobyektif mungkin. Salam.
***
Berhubung kerjaan tiap hari monitoring berita, ada sisi pemberitaan aksi massa 2 Desember 2016 di Silang Monas dan sekitarnya yang asyik dikaji pembingkaian (framing) media-nya dari sisi penyebutan jumlah peserta aksi  *well, ada yang bilang bukan aksi, bukan demo, tapi doa bersama .. whatever lah ya :D
Penyebutan jumlah peserta aksi dipilih karena merupakan variabel yang paling eksak dibandingkan dengan variabel pembingkaian lain seperti diksi atau kata, kalimat, gambar atau foto yang sangat berpeluang untuk multiterjemah. Mengapa memilih judul tertentu dibanding judul lainnya. Mengapa menyebut 150.000 dan bukan ratusan ribu atau jutaan massa?
Tabel 1. Kompilasi Berita “Jumlah Peserta #212” di Media Online Berbahasa Indonesia
Perbedaan penyebutan jumlah peserta aksi dapat menunjukkan dua esensi analisis framing yaitu pertama, bagaimana peristiwa #212 dimaknai oleh jurnalis dan kedua, bagaimana fakta tersebut dituliskan.
Akan tetapi yang disajikan di sini memang baru berupa hasil rekap monitoring, jadi belum secara komprehensif disempurnakan dengan landasan teori, kerangka pikir, serta hipotesis. Bahkan belum terpikir mau dianalisis pake model pembingkaian Edelman, Entman, Gamson, atau Pan-Kosicki. Pengen sih, suatu saat bisa dirapikan dalam bentuk jurnal. (Aamiin).
Sementara, berikut beberapa catatan hasil monitoring penyebutan jumlah peserta aksi #212:
  • Obyek monitor adalah 22 media online berbahasa Indonesia serta 36 media online berbahasa Inggris yang diupayakan diurut berdasar rank, baik dari sumber tertulis maupun audio-visual (video);
  • Narasumber (narsum) terbanyak yaitu Kepala Divisi Humas Polri Boy Rafli Amar atau jika dari sejumlah media berbahasa Inggris hanya disebut from police agency. Dari Kadiv Humas Polri-lah keluar pernyataan estimasi "150.000-200.000 peserta". Narsum lain adalah dari Gerakan Nasional  Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF) MUI, dari MUI sendiri, dari Plt. Gubernur DKI Soni Sumarsono, serta beberapa narsum minor. Perbedaan pemilihan narsum tentu menghasilkan nominal jumlah peserta yang berbeda pula;
  • Penyebutan nominal peserta aksi pada posting berita yang tak memiliki narsum, diduga didasarkan atas pengamatan atau perkiraan jurnalis di lapangan. Tak ditemukan berita yang menunjukkan ketekunan jurnalis untuk secara metodologis mengestimasi sendiri atau mencari narsum yang berdasarkan metoda perhitungan tertentu bisa mengestimasi jumlah peserta aksi secara lebih akurat (kecuali posting jawapos.com yang mengutip perhitungan seorang blogger berdasar skala citra satelit);
  • Secara khusus, penghitungan estimasi jumlah massa peserta aksi secara lebih akurat – bukan hanya mengutip narasumber – akan meminimalkan potensi mengurang-ngurangkan atau mendegradasi value aksi melalui ‘sedikit’nya jumlah peserta atau sebaliknya meminimalkan potensi melebay-lebaykan value aksi melalui ‘buanyak’nya jumlah peserta aksi. ‘Kemalasan’ ini justru sangat tampak pada jurnalis The Associated Press (AP) serta  Agence France-Presse (AFP) yang notabene menjadi rujukan media internasional di sana dan sini (lihat tabel 2). Thus, aksi #212 secara umum ditasbih oleh para jurnalis sebagai aksi terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Senyatanya kompilasi ini masih sangat terbuka pada info tambahan, koreksi, penyempurnaan, serta diskusi beradab (tabel dengan disertai link dan analisis tone, terdokumentasi tapi sayangnya ga bisa ditampilin yah). Monggo koreksiannya. 
*Terimakasih untuk Monitoring Team: Nofra, Umi, dan volunteer Diki. Terus berusaha menemukan yang asyik-asyik dari aktivitas yang truthfully boring, tapi penting ini ;)  Salam Monitor.
Tabel 2. Kompilasi Berita “Jumlah Peserta #212” di Media Online Berbahasa Inggris
#archivepost

Share:

Rabu, 22 November 2017

Meringankan Beban Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan [Dari Ngobrol MPR RI dengan Netizen Lampung]

Giliran netizen Lampung yang malam itu (Minggu, 19/10/2017) diundang ngariung Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Zulkifli Hasan. Muatannya Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan (teman-teman sesama staf MPR/DPR sering menyebutnya "Sosput"), tapi dibingkai dengan judul "MPR RI Ngobrol bareng Netizen Lampung".
Saya yang biasanya duduk - atau berdiri - di barisan paling belakang sebagai panitia, kali ini menyimak jadi peserta.
Icak-icaknya netijen.
Dapat tugas share ke sekian matra media sosial, dengan tagar tertentu, jumlah postingan sekian, fokus saya justru tertuju pada bagaimana acara ini pertama dikemas dengan lebih baik dibandingkan Sosput-Sosput yang biasanya saya panitiai, mungkin karena subyeknya warganet. Kedua, merchandise-nya juga atuh lebih keren, bukan lagi backpack hitam dengan bordir gede-gede "SOSIALISASI 4 PILAR .." yang isinya buku-buku beurat, bermuatan jauh lebih beurat dari Kamus Oxford (yups, foto ilustrasi tulisan ini adalah flatlay amatiran saya dari oleh-oleh acara di Swiss-Belhotel Bandar Lampung malam itu).
Ketiga, batch Lampung ini jadi terasa spesial karena Bang Zul bawa full team. Tak kurang dari Sekretaris Jenderal MPR RI Ma'ruf Cahyono dan Kepala Biro Humas Setjen MPR RI Siti Fauziah yang diajaknya mengawal acara. Oiya ada juga adik eh abang eh .. ah sudahlah .. itu lho Zainudin Hasan, Bupati Lampung Selatan, adiknya Bang Zul, yang memang so sweet sekali sering tampak bersama setiap abangnya datang ke Lampung.
Mengapa netizen? Zulkifli Hasan yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu tak menampik betapa netizen kini adalah kelompok penekan paling penting yang menentukan opini publik, melampaui ormas. "Ormas mungkin hanya demo saja, tapi kalau netizen sudah bersuara, opini publik terbentuklah," kata warga asli Lampung Selatan ini.
***
Beban Sosialisasi Empat Pilar
Mungkin rada lebay kalau dikatakan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan adalah beban. Beban buat siapa? Buat MPR RI yang menyelenggarakan? Atau untuk audiens yang saya tak yakin benar-benar membaca tumpukan buku-buku beurad yang memang jadi paket sosialisasi itu? Anggaran S4PK yang terbilang besar dan bahkan sempat diwacanakan akan dipangkas oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani karena tak tercapainya target negara dari tax amnesty itu memang sudah diketuk palu harus digunakan. Dan dihabiskan.
12 digit IDR per tahun, kawan.
Jadi, bebannya ke siapa?
Menurut saya, yang seharusnya paling merasa terbebani adalah penyelenggara negara yang diberi kewenangan menggunakan, dan harus menghabiskan anggaran S4PK. Para anggota MPR RI.
[Bagi sebagian Anda yang masih tertukar kira bahwa S4PK ini kerjaan anggota legislatif/DPR, perlu diingat bahwa ini domain MPR RI. Orangnya bisa saja sama karena anggota DPR - juga DPD RI - sekaligus adalah anggota MPR RI]
Program yang dijuduli sebagai layanan masyarakat untuk informasi-informasi kebangsaan ini sejatinya menjelma mulia karena warga negara, baik ia milenial-kah, penggemar Mahabharata-kah, ditengarai ada yang mulai tak peduli dengan fondasi negara. Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seakan kata-kata yang membumbung tinggi di langit ketujuh.
Mengapa harus jadi beban?
Yah, sebab para pelaksana sosialisasi seharusnya mampu membuat keempat entitas yang membumbung tinggi itu menjadi sesuatu yang wujud dan bisa digenggam. Bukan, bukan ransel atau t-shirt atau buku-buku beuradnya yang bisa digenggam. Namun sepulang audiens dari acara sosialisasi pertama-tama mereka paham apa yang dibicarakan para bapak/ibu wakil rakyat yang terhormat itu, thus lebih jauh lagi tercerahkan, cintanya makin mendalam pada negeri ini. Sekecil apapun, makin ingin berkontribusi.
Makin bangga menjadi seorang Indonesia.
Bukan hanya 'tercerahkan' karena pulang membawa tas bagus dan amplop yang isinya lumayanlah.
Maka sejatinya di situ beban Sosialisasi 4 Pilar berada.
***
Indikator Keberhasilan
Walau mungkin ada upaya untuk mengkreasi sosialisasi dalam wujud yang lebih humanis, berbudaya, dan kekinian, namun entahlah apa indikator yang bisa digunakan untuk menyebut program berbilang barisan angka nol ini berhasil. Jika konon salah satu saja target dari S4PK adalah terciptanya budaya hukum (living law), apa iya selama tujuh tahun penyelenggaraan program ini tampak ada perubahan signifikan kepatuhan hukum di negeri ini?
Ya ya .. tak semuanya salah Sosialisasi 4 Pilar. Variabel ketidakpatuhan hukum bisa banyak.
Mungkin juga saya yang overanalyse beranggapan Sosialisasi 4 Pilar adalah beban, padahal pengampu programnya sendiri fine-fine saja. Ada harap juga sedih jika uang rakyat yang digunakan dalam program ini hanya berputar menjadi mainan politik. Jika setiap tahun ratusan miliar mengalir ke penjuru-penjuru daerah pemilihan, namun tak jua kita teredukasi menjadi warga negara yang lebih baik.
Salam detijen.
Dan di bawah ini juga editan amatiran video cuman pake hape.
Beli soyjoy tuker hyena (bukan endorser, tolong).  Kalo ente ga enjoy, tolong jangan dihina.
Merdekah!.

Share:

Selasa, 21 November 2017

Milenial dan Ke(Tidak)tertarikan pada Politik

Detti, Rossy, dan Councillor Emilia Lisa saat Graduation Day Australia Awards Course di Hotel Windsor, Melbourne.
Ini kejadian benar dari Kota Semarang. Dari 250 peserta pelatihan yang notabene genre milenial, bahkan kemungkinan generasi Z, saat ditanya cita-cita tak satupun yang mau jadi politisi.
Kata mereka politisi itu capek, banyak urusan, besar tanggungjawabnya, jarang kumpul keluarga. Dan satu dari mereka anak seorang politisi, berkata, "Biarkan abi (ayah)-ku saja yang merasakan hidup ndak normal."
Cerita ini tersaji di dinding media sosial Hadi Santoso, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, sekaligus Ketua Bidang Humas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jawa Tengah.
Mungkin itu sebabnya, lanjut Hadi, negara ini tak beres-beres; karena pemimpin atau politisi tidak menjadi profesi yang diingini. Para milenial tidak tahu bagaimana mempersiapkan diri menjadi politisi yang baik. Berbeda dengan dokter, pengacara, insinyur, pilot, psikolog. Mereka bisa menjelaskan dengan detail apa profesi itu, apa saja yang harus disiapkan untuk menjadi profesi itu.
Sketsa di atas mungkin belum cukup mewakili gambaran keseluruhan future job kids zaman now yang sekira usia 15-25 tahun ini.
Maka pertanyaan lanjutnya benarkah politisi bukan cita-cita yang diingini milennials? Benarkah anak-anak muda sekarang makin apolitis?
Benarkah rentang peduli mereka pada problem publik, thus problem keumatan, makin pendek dan - mengutip salah satu istilah mereka sendiri: kian receh?
*****
Lalu bagaimana menjelaskan fenomena Tsamara Amany Alatas yang sukses jadi pemanjat sosial (social climber) notabene via jalur politik?
Saya juga diperjumpakan dengan Emilia Lisa Sterjova, legislator sebuah kota di Negara Bagian Victoria, Australia, yang terpilih saat berusia 19 tahun (undang-undang setempat mendorong kaum muda ikut menjadi councillor, anggota legislatif, dalam usia yang sangat muda: 18 tahun).
Atau yang lebih dekat, di Indonesia ada pimpinan DPRD Makassar Andi Rahmatika Dewi yang pertama terpilih sebagai legislator di usia 24 tahun?
Atau Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo, dilantik sebagai kepala daerah pada usia 33 tahun, menumbangkan rekor Gubernur termuda yang sebelumnya diampu Gubernur Nusa Tenggara Barat M. Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (dilantik usia 36 tahun).
Ada pula Muhammad Syahrial yang dilantik menjadi Walikota Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada usia 26 tahun.
[Diskusi kita mungkin bisa berlanjut kelak pada komparasi antar negara karena di Indonesia politisi muda yang sukses naik tampuk tampaknya harus punya sokongan dan latar belakang keluarga yang tidak biasa. Politisi muda dari kalangan rakyat jelata seperti Emilia di Australia, untuk Indonesia mungkin masih utopis saat ini]
Lalu benarkah tuduhan millennials dan gen Z hanyalah sekumpulan generasi 'nunduk' yang gila swafoto tapi ironisnya asosial, lazy, hello it's me, tak tahu sopan santun dan sulit menjadi agen perubahan?
Tidak adil menilai generasi ini hanya dari kacamata generasi tua karena setiap generasi punya miliu, value, dan tuntutannya sendiri-sendiri. CEB Iconoculture dalam laporannya tahun 2013 menguraikan perbedaan value yang digenggam masing-masing genre.
Boomers - yup, siapa saja yang usianya berawal atau lebih dari angka 4 - menganggap tinggi nilai keadilan (justice), integritas (integrity), kekeluargaan (family), kepraktisan (practicality), dan kewajiban (duty). Sedangkan millennials lebih memandang penting kebahagiaan (happiness), passion, keberagaman (diversity), berbagi (sharing), dan penemuan (discovery).
***
Lalu secara politis, tak adil pula menganalisis gen milenial dan gen Z hanya karena mereka dianggap penting dari sudut pandang pasar suara dalam industri politik. Amat sangat mungkin di tengah digital native ini ada yang bangkit kesadaran politiknya karena membaca bahaya buta politik Bertolt Brecht atau karena mereka sendiri memang sejatinya secara natural adalah generasi pendukung perubahan.
Suka tak suka akan ada di antara mereka yang menjadi pelaku-pelaku politik, baik sebagai pemilih, medioker, maupun politisi itu sendiri. Akan ada dari generasi mereka yang mengisi ceruk-ceruk pemimpin di segala level.
Millennials adalah mayoritas dalam angkatan kerja saat ini. Apa mungkin dunia politik luput dari fakta itu?
Lalu apa yang terjadi jika mereka tidak diberi bekal optimal agar tongkat estafet kebaikan bisa tetap berpindah di ranah politik yang telanjur dicap dusta dan nista ini? Jika para muda yang segar dan potensial acap dilihat sebagai pesaing bahkan musuh bagi genre yang menjelang senja atau usai usia?
Milenial itu bisa jadi anak-anak kita sendiri. Ataupun anak-anak zaman yang memang dititipkan kepada kita agar dibimbing dan didukung untuk tetap jadi orang baik, di segala bidang. Bahkan termasuk di kubangan politik.
Berbahaya meninggalkan mereka hanya dengan ambisi kuasa legislatif, eksekutif (maupun yudikatif, bahkan melampaui trias politica, ada pilar-pilar demokrasi yang lain seperti pers bebas dan kemerdekaan berserikat dan jangan lupakan ranah profesional), tapi generasi sebelum mereka juga tentunya harus meninggalkan warisan terbaik.
Millennials bahkan disebut oleh Brian Scudamore, CEO O2E Brands, sebagai generasi yang memiliki karakter kepemimpinan lebih kuat dari generasi-generasi sebelumnya. "Millennials lebih berani 'ask for help', ga ragu untuk kerja keras, umumnya karakter pekerja tim, dan punya kekuatan empati," kata Scudamore yang notabene berasal dari generasi tua.
Sudah pula sering laporan hasil pertemuan World Economic Forum Januari 2016 itu dikutip. Betapa sepertiga (35%) skill yang di zaman sebelumnya dianggap penting akan termodifikasi atau hilang. "Critical thinking" dan "kreativitas" melesat di puncak tangga top 10 skills untuk tahun 2020. "Emotional intelligence" dan "fleksibilitas kognitif" meruyak jadi skill penting menggantikan "quality control" dan "active listening".
Maka jangan ragu lagi menggelar karpet warna neon tanda selamat datang dan selamat berkarya bagi para muda millennials dan generasi Z. Pergantian dan perubahan itu keniscyaan. Dan terlalu skeptis menganggap mereka abai politik.
Share:

Senin, 20 November 2017

Bicara Setara

Flagstaff Garden
Beberapa teman awardees di Flagstaff Garden, Melbourne. detti's
Saya berjanji akan menulis dan berbagi, sepulang shortcourse Australia Awards untuk tema "Developing Leadership for Islamic Women Leader" (15 September-1 Oktober 2017) lalu.
Ini salah satunya.
Berdasarkan fakta bahwa awardees (para peraih award) berasal dari latar belakang institusi atau organisasi islam - mayoritas NU dan 10 orang dari Makassar - maka diskursus islam dan kesetaraan gender jadi tak terelakkan.
Namun sejak pre-course tiga hari di Makassar, hingga jelang usainya studi dua pekan di Australia tak sekali jua saya dengar ayat itu disebut tiap bicara gender equity.
Dalam diskusi yang lumayan hangat menghadirkan para kyai, profesor, doktor, dan ahli agama di Makassar yang dikutip selalu "ar rijaalu qowwamuuna 'alan nisaa .." (Quran Surat AnNisaa ayat 34).
Mungkin karena isu yang terangkat soal qaid. Qawwam. Leadership. Mungkin.
Hari terakhir kelas di Deakin University, Collins St Melbourne, yang sekonyong-konyong menjadi kelas Feminis Transformatif, penyajinya Mba Lies Marcoes notabene sesama awardee yang mengidentifikasi diri sebagai feminis liberal, saya sampaikan di forum - termasuk pada dua mentor Australian Dr. Rebecca Barlow dan Annemarie Ferguson - bahwa selain tentang keqowwaman laki-laki, kitabullah Al Qur'an juga punya ayat itu, ayat yang tersurat - bukan tersirat - bicara soal kesetaraan.
Al Ahzab (33) ayat 35.
"Innal muslimiina wal muslimaat, wal mukminiina wal mukminaat .."

Berikut terjemahan lengkapnya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Sepuluh aspek peribadahan yang tersurat, bukan tersirat, menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah.
"Dan ayat inilah yang saya mintakan sebagai mahar pernikahan pada suami saya."
Statemen yang tak urung berbuah gasps and mumblings (kesiap dan gumaman). Oke, good signs. Saya lanjut.
"33:35 itu semoga jadi pengingat bagi saya pun suami bahwa pada dasarnya kelamin tak membuat yang satu menjadi sub ordinat bagi yang lain."
Adapun perbedaan tanggungjawab memang disebabkan masing-masing berbeda peran. Harfiah bahwa laki-laki sampai kapanpun tak akan bisa menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Tentu ada asbab mengapa perempuanlah yang diberi peran maternal yang mulia ini.
Dan mungkin seperti yang dimaksud awardee dari PP Nasyiatul Aisyiyah, Rossy Siti Rahmawaty, feminisme ditakuti karena sering ditemukan praktek kebablasan. Jadi lesbian, leadership melampaui laki-laki, benci laki-laki, tak mau punya anak, punya anak tapi enggan disusui, enggan mengasuh anak, atau laku ekstrim serupa.
Paparan itu lalu saya tutup dengan mengutip ucapan Mba Lies sendiri bahwa it's ok bila feminisme punya banyak tafsir. Tak perlu satu tafsir dipaksakan untuk tafsir yang lain.
Di luar kelas beberapa pesan masuk, intinya mendukung paparan 33:35 yang nyaris tenggelam oleh arus pembicaraan feminisme transformatif  Sambil menyeruput ristretto kopi level 10, Bu Nurhayati Aziz, Ketua PW Aisyiyah Sulawesi Selatan beri saya hifive (tos) seraya bilang: "memang harus ada yang bicara seperti mba detti di forum tadi. Takut jadi liar tak terkendali."
*****
Di jenak itulah makin terang bahwa bincang kita soal leadership muslimah, atau muslimah dan kesetaraan gender tak akan bisa dihomogenkan. Dan saya hanya bisa mengira-ngira mengapa pemerintah Australia tertarik memberikan award untuk tema ini: islamic women leadership (dan bukan kebetulan kami berangkat bersamaan dengan teman-teman awardees dari tema kontraterorisme. Kedua kelompok ini bertemu di kesempatan dinner di Canberra).
Saya pribadi tak pernah menjuduli diri sebagai feminis. Namun juga memilih untuk tidak vis a vis dengan feminisme.
Mengapa? Karena ketidakadilan bisa hadir dalam banyak bentuk. Tersebab kelamin, rupa, level sosial.
Dan pada saat yang sama 'perlawanan' tidak harus selalu dilakukan dengan berteriak. Ada kalanya memupuk pembuktian jauh lebih penting.
Wallahu 'alam.

#archive 04102017 dan masih banyak yang terserak dan belum tersimpan di bilik ini. Semoga Allah berikan usia ..

Share:

Kamis, 14 September 2017

Teliti Literasi Foto Hoax Rohingya

Teliti Literasi dari Kasus Foto Hoax Rohingya
Detti Febrina | @dettife* 06092017


Apa bahayanya menyebarkan foto-foto hoax pada isu Rohingya? Selain sebagian besar terkategori disturbing pictures/gambar yang tidak nyaman untuk dilihat, namun yang paling berbahaya adalah pengaburan fakta kemanusiaan yang sungguh terjadi di Rakhine State. Alih-alih ingin berbagi kepedulian, ikut menyebarkan foto-foto hoax Rohingya berbahaya karena justru menisbikan empati akan kezaliman yang nyata berlaku.

Kasus salah posting mantan Menkominfo Tifatul Sembiring, sudah diakui oleh yang bersangkutan sebagai kesalahan, adalah contoh segar. Lihat cepatnya diskusi terdistraksi dari bagaimana ringankan derita Rohingya pada bagaimana merundung mantan Menkominfo yang bisa kepleset juga posting hoax.

Pertama-tama yang seharusnya sudah selesai untuk jadi debat adalah fakta kejadian. Organisasi kemanusiaan di bawah United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) pada Februari 2017 memublikasi dokumentasi perkosaan massal, pembunuhan - termasuk pada bayi dan anak-anak, penganiayaan brutal, penghilangan manusia, dan banyak tindak kekerasan tingkat berat yang dilakukan angkatan bersenjata Myanmar http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=56678#.Wa-bVNgxXYU . [yes, dengan alasan kredibilitas sengaja dipilihkan link dari UN/PBB].

Artinya, isu kemanusiaan Rohingya itu fakta. Bukan hoax. Dari banyak literatur yang bisa diverifikasi, kezaliman ini bahkan sudah bertahun-tahun.

Maka poin kritisnya adalah kemampuan memisahkan hoax dengan kebenaran.

***

Sudah banyak situs maupun grafis yang memberi edukasi tentang bagaimana cara kita mengkritisi hoax/fake news.

"Kritis" sendiri adalah kata kunci dan niscaya dalam literasi informasi.

Rumusnya sederhana: kritisi setiap informasi yang Anda terima, termasuk tentang Rohingya. Jika surat Al-Hujurat ayat 6 dibutuhkan jadi reminder, maka ingatlah bahwa di ayat yang turun 14 abad lalu itu, bahaya hoax disebut sebagai musibah.

Iya kalau musibahnya tertuju pada pelaku kezaliman, jika pada pihak yang terzalimi sama saja kita menimpakan musibah dua kali. Dan itu 'hanya' karena ikut menyebarkan hoax.

Salah satu cara paling populer mengecek foto hoax adalah dengan menggunakan google image reverse. Sila simak langkah-langkahnya di sini http://jateng.tribunnews.com/amp/2017/05/08/begini-cara-google-mengecek-foto-video-apakah-hoax-asli-atau-palsu-baru-ataukah-lama

Selain google, bisa juga memanfaatkan situs https://tineye.com . Dengan memilih "oldest" pada kotak filter, Anda bisa menemukan siapa pengunggah pertama foto tersebut. Pengunggah pertama dapat menunjukkan pada kejadian apa konteks foto tersebut terjadi.

Berikut foto-foto hoax maupun foto kejadian benar terkait Rohingya yang dihimpun tim Crisis Center for Rohingya (CC4R); digrafiskan oleh teman-teman @pksart dengan mengaburkan gambar-gambar yang dinilai terlalu sadis (grafis susulan insya allah akan kami susulkan pula).

Ayo bantu Rohingya dengan tidak ikut menyebarkan foto hoax.

*@dettife | berkhidmat di lingkaran riset dan monitoring media; membantu pengelolaan isu di Crisis Center for Rohingya (CC4R).

Note: 10 foto hoax Rohingya sudah pula diposting Andy Windarto di laman facebooknya. Ga jadi saya share karena banyak disturbing picture, ya. Salam. Moga manfaat.









Share:

welcome to detti's blog

communication scholar & practitioner, hopefully being lifetime citizen journalist, simply laid back ambivert

Mengoptimalkan Google Alerts untuk Media Monitoring

Menyusun panduan optimalisasi google alerts ini sekira dua bulan sebelum ramadhan tahun lalu. Belum sempat di- digital archive , apa daya fi...

Popular Posts