Labirin Cahaya*
Cerpen Detti Febrina
Dimuat di Republika 03/09/2008 Telah Disimak 270 kali
Rona-rona lembut menyapa. Merah muda, biru, hijau pupus, kuning yang teduh, ungu lembut. Indah semata membuai mata dan jiwa. Kurasakan jasad ini melayang-layang. Lambat, namun terus beranjak sesenti demi sesenti. Seakan ada energi yang menarik-narik untuk mendekat.Jangan-jangan, aku tak lagi berpijak di bumi. Jangan-jangan.... Tempat apa ini gerangan? Begitu damai dan menenangkan. Lorongnya panjang berkelok-kelok. Cahaya berpendar dari dinding, langit-langit bahkan lantai yang tak tersentuh oleh kaki telanjangku. Menentramkan, bak tersimpan beribu neon di baliknya. Benderang namun tak menyilaukan.
Lalu ketentraman menyergap sekujur pori. Perlahan menyelusup hingga sumsum dan jantung. Bagaimana bisa kujelaskan keindahannya. Sungguh aneh, aku tak merasakan sebersitpun rasa takut di tempat seasing ini. Aku masih bergerak melayang-layang. Tak ada sesiapapun, maka kucoba bersuara, "Hei!" Entah mengapa yang terdengar hanya desau. Aku coba teriak. "Dimana aku berada?!" Entah mengapa yang tertangkap telinga hanya bisikan.
Di sebuah kelok, pendarnya menguat. Masih menentramkan. Dan, hatiku tercekat saat paras indah itu menghadang. Senyumnya begitu menawan. Alhamdulillah, akhirnya, kujumpa makhluk lain di labirin ini. Manusiakah ia, atau bidadari surga?
Bidadari itu tersenyum. Binar matanya bagai kejora. Wajahnya begitu putih dan teduh. Tercium wangi seribu bunga ketika tangannya merengkuh badan gemetarku. "Siapa kau?"
Bibir nan serupa kelopak mawar itu bergerak. Namun tiada terdengar suara. Lalu kurasakan bibirku bergerak mengikuti gerak bibirnya, "A-i-syah?"
Mataku menghangat. Bulir beningnya mengalir tak tertahankan.
"Aisyah radhiallahu anha?"
Dia mengangguk.
"Aiyah kekasih Baginda Mu-ham-mad? Istri Rasulullah?"
Dia mengangguk lagi. Masih tersenyum.
Bulir bening dari mataku menetes perlahan saat ia lepaskan rengkuhannya. Lalu tangan kanannya mengembang seperti mempersilakanku melanjutkan perjalanan. Aku kembali beringsut, melayang sesenti demi sesenti tanpa sekejap pun kulepaskan pandang darinya. Bahagia bertalu-talu menyesaki ruang hati.
"Ibunda Aisyah...," suaraku kembali hanya berupa lirih angin. Sampai akhirnya senyum indah itu hilang ditelan kelokan.
Pendar cahaya masih membimbingku. Masih menentramkan. Lalu kurasakan lorong warna-warni lembut berakhir di sebuah ruangan yang dari dinding ke dindingnya berjarak ribuan meter. Mungkinkah ini akhir dari labirin penuh cahaya?
Aku tiba di hadapan beberapa pintu raksasa yang juga berpendar cahaya. Dan aneh, semua berbisik, "Bukalah... bukalah... bukalah...." Bulir-bulir bening kian deras mengalir. Lalu sebuah pintu terbuka sebelum sempat tersentuh tangan. Lagi-lagi kekuatan asing menghisapku untuk perlahan mendekat ke tengah pendar cahaya putih yang bergelinyaran dari segala penjuru.
Ruang bagai tak berbatas. Semua hanya cahaya. Cahaya-cahaya warna putih yang lembut dan bertumpuk-tumpuk.
Belulangku melemas bagai tersiram asam sulfat, ketika pendar-pendar cahaya itu perlahan kian menampakkan bentuk. Melebihi perjumpaan dengan Ibunda Aisyah, kali ini dadaku begitu sesak oleh kebahagiaan. Kebahagiaan yang bahkan menjalar mengikuti aliran darah dan terus mengalir tanpa henti.
Oh, sungguh sempurna keindahan ini. Mas Awan, andai kau di sini. Subhanallah, Mas, di sini indah sekali. Terasa tubuhku bagai dipeluk jutaan bintang.
Aku merintih, "Allah, Engkaukah itu, Allah?" Air mataku tak tertahankan. Subhanallah. Maha Suci Allah yang mengijinkanku mendapati perjalanan ini. Dan, semua cahaya yang memenuhi ruang dan waktu bagai berebut memelukku.
"Ya, Allah, ampuni aku. Ampuni aku," rintihku tanpa henti. Segenap khilaf dan kesalahan berkelebatan di pelupuk mataku yang basah. Cahaya-cahaya masih bersiar-siur. Cahaya di atas segala rupa cahaya.
"Ampuni seluruh dosaku, Ya Robb."
Kakiku lemas. Aku ingin bersimpuh, namun tak jua kumampu melakukan apapun. Aku hanya terpaku seraya merintih, memohon, menghiba. Lalu, di bawah tahta bercahaya itu, sesosok tegap dan rupawan perlahan menampakkan diri. Sambil mengulurkan tangan, senyumnya menyongsongku.
"Kau...," suaraku nyaris hilang.
Wajah rupawan itu bagai membelaiku. Suaranya indah melebihi suara terindah yang pernah kudengar.
"Ya, ibundaku sayang."
Aku bergerak ingin meraih tangannya, namun tak terraih.
"Aku putramu yang belum sempat kau lahirkan ke dunia."
Tangisku pecah menjadi isakan hebat.
Belum habis takjubku, tiba-tiba kekuatan itu kurasakan tak lagi menghisap. Perlahan ia malah mendorongku keluar menuju pintu raksasa.
"Ya Allah, jangan tinggalkan aku."
Namun, cahaya itu kurasakan kian jauh. Wajah rupawan itu juga perlahan memudar di balik lapisan-lapisan kabut.
"Peluk aku, ya Allah. Jangan tinggalkan aku."
Aku tersedu-sedu saat lorong bercahaya warna merah muda, biru, hijau, kuning lembut menyambutku kembali. Kelokan demi kelokan membawa tangisku bagai gerimis pagi. Aku merasa tercerabut. Masih melayang-layang. Bibirku hanya menyebut Allah dan Allah.
Diselimuti kabut, eternit putih serta dua lampu neon di kanan-kiri menyergap pandangan. Samar-samar kulihat gorden hijau, juga tercium bau obat-obatan. Apakah benar itu suara sedu sedan? Kurasakan kemudian genggaman erat di jemariku yang masih lemas. Dan, suara yang kukenal itu. "Alhamdulillah," bisiknya.
Tanganku perlahan dibimbing ke dadanya. Genggamannya makin erat. Masih samar, kudapati wajah tirus yang begitu kukenal itu, Mas Awan, suamiku.
"Semua sudah selesai, sayang. Kuretnya sudah selesai," bisiknya lagi. Kulihat ia berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kesedihan. Namun, sungguh kau pemain sandiwara yang buruk, Mas.
Segalanya kemudian berkumpul menjadi potongan-potongan peristiwa. Saat tepat tengah malam, saat gumpalan merah segar pertama jatuh di lantai kamar mandi. Lalu gumpalan merah segar yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
Dan, satu gumpal kecil seukuran jempol kaki kemudian begitu menyita perhatianku. Gumpal kecil yang selanjutnya kuraih dengan tangan bergetar. Ia tampak menonjol, karena berwarna putih di antara gumpalan-gumpalan segar merah darah. Ada sepasang mata berbentuk bintik di kanan dan kiri.
Sepasang bakal tangan dan sepasang bakal kaki, serta seutas tali pusar yang juga berwarna putih. Inikah sebentuk kehidupan yang kutandai, sesuai perkiraan dokter, seharusnya lahir enam bulan yang akan datang?
Lalu, dunia serasa berguncang. Setelah itu menyusul luruh gumpalan merah segar yang kelima, keenam, hingga entah yang keberapa. Darah segar mengucur-ngucur di sela-sela paha. Mas Awan menangkap tubuhku yang lunglai, selebihnya gelap. Selanjutnya, yang kuingat hanya perjalanan dalam labirin cahaya.
"Kamu mengigau menyebut Allah dan surga."
Kurasakan air mataku masih meleleh.
"Benarkah?"
Berulangkali ia menyeka air di pipiku. Dan berulangkali pula air itu menganaksungai.
"Belum saatnya kamu berjumpa surga, Jeng," kata-kata Mas Awan kudengar tercekat di tenggorokan. "Ina dan Rayya masih butuh ibunya."
Ina dan Rayya? Aku masih menangis. Namun, kali ini terbayang wajah kedua bidadari kecil itu. Ya, aku memang kehilangan sesuatu yang telah melekat selama tiga bulan dalam rahimku. Tapi kau benar, Mas. Masih ada dua makhluk Allah yang hidup dan sehat yang butuh tanggung jawabku.
Masih nanar pandanganku menatap lelaki yang tengah sibuk mengusapi air di sudut matanya itu. Mas Awan, suamiku, kau juga amanahku.***
Bandar Lampung, Januari 2008.
* salin dari sriti.com
0 komentar:
Posting Komentar
Komen apapun berharga. Sila.