dari jeongmon |
CERPEN
Detti Febrina
Lampung Post Minggu 16 Desember 2007
Perjalanan Bersama Rembulan
Hening.Sabit bentuk rembulan itu, kubayangkan tengah tersenyum sambil mengedipkan mata hingga akupun tertular senyumnya. Tertera di pelupuk mata, tak berapa lama kelak akan kucium dahi dan pipi montok Buana. Bidadari kecil itu pasti sedang tersenyum manis dalam pulas.
Entah mengapa keheningan malam kali ini tak membuat detak jantungku lebih laju. Roda duaku juga menderu halus dan tak terburu. Padahal jarum pendek pada jam tangan tali lebar ini sudahpun lingsir dari angka dua belas.
Kunikmati saja lamun gempuran dingin yang mencekat. Jaket pemberian panitia sebuah seminar kesehatan ini justru sempurna menghantarkan dingin ke sekujur pori. Dan malam begini, jalan sepi pinggir kota menuju kediaman yang atap asbesnya setia bocor di kala hujan, kanan kiri hanya sunyi dan sunyi. Tiada tampak kumpulan ronda, apalagi security.
Namun kali ini jantungku tak lagi berdebar-debur seperti masa-masa magang dan masih menjadi kacung, dahulu (memangnya apa kau sekarang? Kacung senior mungkin). Ketika jalanan sunyi bak menyembunyikan pengintai di sana-sini.
Kali ini kunikmati saja. Cukuplah angka 40 di speedometer. Cukuplah mendendangkan ma’tsurat seraya mencari ruas-ruas jalan terang berpenghuni. Bukankah ditemani sabit rembulan, sejenak ku kan sampai jua.
Ayo roda duaku yang baik, hantarkan aku ke rumah beratap bocor itu.
***
Oh, suamiku sayang, adakah kau sekali lagi terkantuk-kantuk menunggu di serambi depan? Ataukah tengah terbahak menyaksikan Beckham yang nyaris menyundul bola ke gawang sendiri?
Rembulan mengintip dari dahan pepohonan saat senyumku mengembara pada wawancara siang tadi.
“Bukankah Rasulullah dalam hadistnya juga menyuruh kita mengatakan yang benar, walaupun pahit? Benar tidak, Ning?”
Aku ingin mengangguk sekuat-kuatnya. Tapi leherku kelu, mendengar gemuruh ‘Aaaaaaamiiiin …’ dari masjid yang – meminjam tutur Bastian Tito – hanya berjarak beberapa tombak dari kantor partai politik ini.
Sungguh, dalam hati kuingin berujar, ‘Masukkanlah dulu pecimu ke dalam laci, abang narasumberku yang terhormat. Bagaimana kau berani mengutip sabda Nabi, tapi langkah berat ke jamaah sholat Jumat?’
Entah riak di mataku atau mungkin kerudung merah jambuku yang keburu membuatnya tersipu. “… Walaupun saya ketinggalan juga ini Jumatan.” Ah, setidaknya dia punya rasa malu itu.
Berjam-jam kuhabiskan bersamanya, namun tak banyak yang bisa kutulis. Betapa sakti kata-kata itu meluncur dari bibir kelabunya, ”... tapi ini off the record.” Maka di benak ini, dan di alat perekam ini, bertambahlah perbendaharaan informasi. Tapi apa boleh buat, bagi publik pembaca nanti tak banyak yang bisa kubagi.
Demikianpun, abang tambun bertutur santun ini sungguh berbeda dengan sang penguasa gedung besar berpohon besar di halaman, yang konon dengan sadar mengoleksi barisan pencinta maupun pembenci.
Lelaki paruh baya beristri jelita itu akan dengan ringannya menyebut si A sebagai pengkhianat, si M sebagai orang tolol, atau menjuluki Tuan S sebagai pemimpin tak tahu diri. Kadang-kadang tak lupa menyertakan penghuni taman satwa serta jenis-jenis kotoran binatang.
”Abang yakin ini semua boleh saya kutip?” tanyaku untuk kedua kali dalam wawancara lewat telepon genggam keluaran 90-an yang tak berpengeras suara.
”Kutip saja semua. Memang faktanya begitu kok. Nggak ada yang perlu ditutup-tutupi,” jawabnya enteng.
Ya, si naif ini lalu mengutip semuanya. Dan gara-gara itulah, si naif hampir kena batunya. Walau para penghuni taman satwa serta jenis-jenis kotoran binatang sudah aku tip-ex, pada jurnalis yang lain pria penyuka helikopter itu menudingku telah memelintir semua isi wawancaranya.
Olala. Begitu rupanya permainannya. Ya, aku tak punya bukti semua ucapannya selain apa yang tertulis di blocknote persegi.
”Dia itu kontroversial, Ning. Jadi, kalau lain kali kau wawancara dia, rekam!” tukas seorang sahabat sesama jurnalis di aliansi.
***
Masih bersama rembulan, senyumku mengembang. Dan menguncup sejurus saat hamburan serangga malam nekat menerobos geligi nan berantakan ini. Roda dua warna biru melaju di belokan dekat gardu.
Dan kini kembara ingatan melesat ke meja redaksi di sepenggal sore tadi.
Pada rekanku sesama tukang sunting naskah yang berkesah, ”Heran, buntu otak ini mau ngetik apa lagi.” Asap kopi panas mengepul, walau tangannya sesekali memegangi perut yang kian dililit maag akut.
Pada keluh sang pewarta muda yang merasa berita-berita kriminalnya selalu dibajak suratkabar mingguan terbitan putra penguasa.
Pada pemimpin rapat proyeksi yang bersemangat menunjuk ke sana dan juga ke mari. Sama bersemangatnya ketika mencari proyek iklan, atau meloloskan semua tulisan yang lalu-lalang di komputernya tanpa editan berarti.
Pada makhluk manis bagian keuangan yang kecut menyerahkan amplop gaji serta lembar demi lembar klaim liputan yang sering kutunda hingga berbilang minggu.
Pada fotografer baru yang merasa mungkin dia melamar ke kantor yang salah.
Pada gadis sekretaris yang termonyong-monyong saat baku omong dengan duet gondrong dan pangkas TNI, dua reporter senior yang tak jua naik pangkat di kantor ini. (Gadis, kau anak lugu dan menyimpan hati yang baik di balik sikap kenesmu).
Pada seorang pewarta belia pemilik telinga dan lidah tajam yang tahu sejuta gosip di balik baju safari semua pemangku birokrasi sepelosok negeri.
Pada kacamata si penata letak yang di ujung tenggat masih sempat membunuhi NAZI Jerman dalam game online.
Lalu pada Husin, office boy berdialek Way Kanan, yang selalu menyebut namaku dengan takzim, ”Mbak Hening.”
Pada tiap jengkal waktu yang kuhabiskan selama sepekan, sebulan, setahun, bahkan dua hingga tiga kali Idul Fitri, tanpa realisasi janji asuransi, kenaikan gaji, ataupun SK pengangkatan karyawan pasti. Tapi kuputuskan masih disini, dengan sepotong keluh yang hanya tersimpan di hati.
***
Kali ini ingatanku menclok pada seorang bapak beranak empat yang kala itu baru dilantik mengepalai sebuah dinas yang cukup basah. “Sudahlah Ning, you tak cocok jadi wartawan. Mending berhenti kerja, jadi istri I saja, bagaimana?”
Duh bapak gagah, kurang apa istri pintarmu yang berdarah biru itu? Sejak itu si kepala dinas tak pernah kuwawancara lagi.
Senyumku tiba-tiba kembali terkulum, perlahan membentuk seringai miring.
Setelah sekian lama masuk ke lumpur para penghantar berita, kusyukuri tangan dan hati ini tak tersentuh segala yang nista, sekalipun kadang setan jalang menuntut memaksa. Setelah sekian lama, rasa-rasanya mata hati ini kian mampu menembus pakaian dan aksesori. Membedakan siapa yang sebenar-benarnya pejuang, dan siapa pula yang di kepalanya melulu uang.
Maka semua manusia dan kejadian yang melintas bersama rembulan, dalam perjalanan sunyi utuh terangkai dalam satu bingkai.
Duhai suami dan anakku, terimakasih telah bersedia mempunyai aku yang memilih masuk dalam bingkai itu. Si keras kepala dengan tangan kecil yang ingin merubah dunia. Bunda kepala tiga yang berharap kalian ikut merasakan denyut peristiwa dan ...
Ahh, apakah yang tiba-tiba terasa panas di pinggang kananku ini?!
Lalu, entah darimana datangnya umpatan itu, ”Dasar perempuan bodoh!”
***
Elang (duda seorang anak perempuan bermata bintang).
Rembulan itu bundar sempurna. Hatiku tercabik mengingat Hening selalu menyukai rembulan.
Tujuh bulan setelah kematiannya, pesan singkat Hening yang terakhir kubiarkan jadi penghantar malam-malamku.
”Ayah, bunda pulang sekarang. Kalau tidak sampai dalam sejam, tolong susuri jalur angkot hingga alhuda, terus ke pulau damar, perempatan tari dan jalur dua kita. Jaga-jaga saja, yah. Siapa tahu ada yang penasaran mau culik istrimu yang manis ini. :) Jangan kuatir. Doakan saya baik dalam lindungan Allah. I luv u.”
Masih segar darahnya di tanganku malam itu, si bunda keras kepala yang bersikukuh tak mau kujemput pulang. Nafas terakhirnya berhembus menggamit janin tiga bulan kami di rahimnya.
Sekalipun dua pemuda pelaku penembakan dan perampasan motornya sudahpun dibui, sejumput tanya masih tersendat di kerongkongan. Adakah kematian Hening bergema di ruang-ruang para pembuat kebijakan serta pemilik perusahaan media?
Kutatap mata telaga gadis piatuku, Buana. Tak ada jawabnya di situ.
Sukarame, 28 Nopember 2007 dini hari.
Persembahan untuk seluruh jurnalis perempuan, dan sahabat-sahabat di kantor bersahaja di pojok m yamin
Comment:
Sudarmono 628127966xxx
11-dec-2007 10:31:42
Hening, begitu bening bak rembulan 15 di malam dengan langit cerah. Pesan cinta yang membiru, meski kau tanggung lebam di kelopak netra dan rasa hati. Syukurku, aku laki-laki. Selamat!
Adian Saputra 6281369591xxx
15-dec-2007 22:33:14
Perjalanan bersama rembulan. Cerpen yang bagus.
Tri Yulianto 6281572249xxx
16-dec-2007 13:03:10
Ha..ha..Slamat nih bwt cerpennya. Aku senang kehidupan pahit kita jadi luapan inspirasi. Aku rasa masih banyak yang bisa ditulis dari kepahitan kita selama ini. Terus semua itu tulis di kompas, biar temanku di semarang tau kalo aku masuk ke dunia kutukan. Besok-besok aku diajarin nulis ya. Miss u Hening..
Tri Yulianto 6281572249xxx
16-dec-2007 17:59:37
Aku tunggu cerpen lainnya ya. Gaya mbak dety bagus, posmo feminisme. Bravo deh..
Hesma 628197998xxx
17-dec-2007 18:12:47
Aha...usai baca cerpenmu kemarin aku mau kirim apresiasi padamu. Asyik. Thanks banget. Ngomong-ngomong siapakah narasumber yang tambun itu. Aku cuma duga-duga.
Eni 6281379450xxx
17-dec-2007 22:11:39
Bita lagi proses mo punya adik ya? Selamat ya. Cerpennya bagus.
Habib 628117202xxx
18-dec-2007 10:12:51
Mba, aku udah baca cerpenmu. Bagus. Makasih sindirannya. He he
Hendri 6281541230xxx
19-dec-2007 08:51:01
Selamat. Cerpennya bagus, gak perlu minta maaf karena itu karya fiksi (minta maaf sama siapa?, det). Kita bebas memungut inspirasi dari mana pun. Termasuk di SP. Dinanti karya-karya berikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Komen apapun berharga. Sila.