Sabtu, 11 Juli 2009

Ayat-Ayat Cinta (lama, sebelum ada filmnya ...)

Dimuat di Lampung Post Sabtu, 2 Februari 2008
OPINI
Novel Fenomenal tanpa Resep Tunggal

Judul buku: Ayat-Ayat Cinta

Penulis: Habiburrahman El Shirazy

Penerbit: Republika dan Basmala

Tebal buku: 420 halaman

Cetakan: Pertama, Desember 2004

Halaman: 20,5 x 13,5 cm

BANYAK faktor yang melatari sebuah buku hingga bisa dikategorikan buku laris atau best seller. Namun, novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang sampai Desember 2007 sudah memasuki cetakan ke-30 dengan jumlah yang terjual sekitar 300 ribu eksemplar--konon memecahkan rekor buku laris se-Asia Tenggara--memang menjadi fenomena tersendiri yang rumus suksesnya tidak bisa dipilah secara singularis.

Sukses novel bergenre sastra islami ini tidak kurang membawa dua penerbit besar Malaysia memperebutkan hak edar dalam bahasa Melayu. Dalam wawancara dengan majalah Tempo (31-12-2007), Direktur Penerbit Republika Tommy Tamtomo mengaku novel itu rencananya juga terbit di Kanada dan Australia.

Tambahan lagi, Januari 2008 ini akan ada acara Napak Tilas Ayat-Ayat Cinta ke Mesir. Dengan membayar 1.200 dolar, peserta wisata dapat mengunjungi beberapa lokasi yang dijadikan setting cerita AAC. Gilanya, paket ini laku!

Lalu, hingga tinjauan pustaka ini ditulis, ribuan penggemar novel AAC masih harap-harap cemas kapan peluncuran filmnya yang molor sejak Desember 2007, benar-benar bisa tayang. Entah ini kabar baik atau tidak, novel islami yang kental dengan bahasa fikih dan dakwah itu harus berakulturasi dengan watak kapitalis yang meminjam istilah sastrawan Prie G.S.--haus industri dan kapital materi.

Seratus Ribu hingga Seratus Juta

Di antara pusaran kutub fiksi-fiksi islami yang lebih sering dianggap sebagai buku agama ketimbang karya sastra, serta kutub novelis profan yang mengklaim diri sebagai sastrawan tulen dengan mengusung sastra mazhab selangkangan (SMS)-nya, AAC tidak pelak hadir sebagai oase yang menjadi antitesis kedua kutub. Ini disitir Hadi Susanto dalam prolog novel ini, yang menurut saya, juga menambah bobot fenomenalnya.

Bukan hal yang mudah memasukkan nilai-nilai dakwah yang sedemikian kental, sekental susu kental manis tanpa air dan mengangkatnya menjadi karya sastra yang secara mengejutkan juga memenuhi selera pasar.

Tentang penulis sendiri, sebelum AAC, Habiburrahman El Shirazy yang akrab dipanggil Kang Abik atau Kang Habib ini, bukan siapa-siapa. Bahkan, untuk publik Semarang, tempatnya menuntaskan novel yang beranak-pinak buku itu (catat kehadiran fenomena Ayat-Ayat Cinta dan novel-novel pasca-AAC seperti dwilogi Ketika Cinta Bertasbih, Pudarnya Pesona Cleopatra, dan karya-karya lain dalam daftar yang tidak pendek) juga bernasib sama dengan puaknya. Ya, jadi best seller juga.

Habib (32), bukan kebetulan seusia dengan orang yang tengah menulis resensinya ini, sekembali ke kampung halaman bergelar Sarjana Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, hanya menjadi guru honorer dengan gaji kurang dari Rp100 ribu sebulan. AAC menjadi semacam blessing in disguise (berkah tersembunyi) karena lahir justru setelah ia mengalami kecelakaan hingga harus istirahat penuh di rumah.

Dalam tempo sebulan, ia selesaikan roman santri yang lalu dimuat surat kabar Republika dalam bentuk cerita bersambung. Begitulah, AAC kemudian dibukukan dan meledak empat bulan pascacetak pertama. Tidak hanya sekali, tapi meledak dan meledak terus. Dan pada 2005 serta 2006, ia sukses menumbangkan dominasi Harry Potter sebagai buku terlaris.

Habib menikmati royalti 12 persen dari harga jual yang jika ditotal dengan buku-bukunya yang lain berjumlah Rp1,5 miliar. Dan dalam beberapa bulan ini, tiap bulan Penerbit Republika mengirim royalti kepada bapak dua anak itu Rp100 juta. Dengan royalti yang mengalir bagai air, guru honorer bergaji tidak sampai Rp100 ribu perak itu kini bisa membangun pesantren dan sekolah di Semarang.

Bukan Roman Picisan

Tokoh utama AAC adalah pemuda Indonesia bernama Fahri, mahasiswa pascasarjana Al-Azhar Kairo nan pintar, taat beragama, aktivis kampus, pekerja keras, bijak, dan romantis. Pokoknya, Fahri sosok ikhwan tulen paripurna dambaan perempuan yang juga digambarkan jadi rebutan empat akhwat, yaitu Maria, Noura, Nurul, dan Aisha. Notabene keempatnya cantik-cantik.

Aisha, gadis peranakan Jerman-Turki-Palestina, yang kemudian menjadi istri Fahri, bahkan dilukiskan cuantiiik bagai bidadari dan kaya-raya pula. Walau dipenuhi kejutan dan di beberapa bagian menguras air mata, sebagaimana keinginan banyak pembaca fiksi, novel ini toh berakhir bahagia.

Kedengaran klise dan tidak lebih bak roman picisan? Mungkin saja. Bahkan, walau bertabur kosakata khas komunitas santri dan aktivis masjid, ada yang berpendapat novel ini lebih layak masuk genre sastra pop. Mengenai hal ini, Habib punya jawaban lugas bahwa ia menulis mengikuti "rumus umum" yang berlaku di pesantren; khotibun naas 'ala qodri uqulihim. "Bicaralah sesuai kemampuan orang yang kamu ajak bicara. Itu kunci komunikasi," terangnya.

Rumus komunikasi yang dipakai Habib sukses memikat hati bukan hanya ikhwan-akhwat pembaca spesifik karya-karya Forum Lingkar Pena (FLP), forum penulis fiksi islami tempatnya bernaung, yang sudah terbiasa serta fasih dengan sebutan akhi-ukhti ("saudara laki-laki"--"saudara perempuan"). Ayat-Ayat Cinta juga terbukti sukses memikat hati akademisi kelas berat seperti Prof. Laode Kamaludin atau sastrawan trilogi laris Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari. Novel ini juga berhasil memaksa grup media Tempo yang terkenal dengan jurnalisme sastrawi yang "angker" itu untuk memberitakannya di laporan utama. Dan jangan lupakan kelas konsumen buku snobbish yang membeli buku lebih karena alasan gaya hidup, dan tentu saja punya andil besar menahbiskan novel ini menjadi novel laris.

Buku fenomenal secara substansial maupun komersial yang menurut sebagian besar anggota milis pencinta AAC dan Habiburrahman El Shirazy ini, sempurna tanpa cacat cela, tetap membuka ruang kritik. Seperti yang dikatakan Salim A. Fillah dalam fenomena Ayat-Ayat Cinta, kekurangan novel ini adalah tokoh utamanya tidak punya kekurangan. Dan ceritanya tidak ubahnya sinetron-sinteron tanah air yang too good to be true alias hiper-realitas.

Dengan penuh hormat, kepada Kang Habib yang telah melahirkan karya dari hati ini, saya setuju bahwa tokoh Fahri telah berhasil mendobrak segenap adagium pemuda gaul ala Si Boy yang hanya meletakkan agama sebagai simbol tasbih di spion mobil atau sesekali mendirikan salat, tapi pada saat yang sama rajin ke diskotek dan memacari perempuan yang memakai rok mini.

Saya juga percaya, dari 300 ribu pembeli AAC--serta sekian ribu peminjam buku berkantong cekak seperti saya--banyak yang mendapati pencerahan bahwa di dunia nan durjana ini masih ada sosok-sosok oasis semacam Fahri, Maria, dan Aisha. Saya setuju bahwa anak-anak muda kita butuh role model seperti Fahri yang menurut Kang Habib bahkan masih kurang sempurna. Masih kurang me-malaikat (waduh!).

Saya pun setuju bahwa sosok sekarakter Fahri itu wujud di dunia nyata, bukan hanya di Kairo, melainkan juga di sudut provinsi termiskin di Sumatera maupun di relung-relung Jakarta dan Semarang. Namun, toh pada akhirnya tidak ada yang maksum (tanpa kesalahan) selain baginda Rasul saw.

Dan untuk sebuah novel yang sudah cetak berpuluh kali, sungguh sayang bila di cetakan ke 21 sekalipun masih ditemui sejumlah salah ketik, penulisan imbuhan yang tidak sesuai dengan kaidah umum berbahasa, serta lafal asing yang tak tepat kamus. Walau demikian, keindahan novel yang diinspirasi Alquran surat Az Zukhruf Ayat (67) ini, tetap sulit dicari tandingannya. Wallahualam.

Detti Febrina

Pencinta buku, tinggal di Bandar Lampung

Ilaa Mas Penyair:
Atas izin Allah, tunailah janjiku ini. Aku sudah berusaha supaya nggak lebih dari 7000 karakter. Apa daya reaksi obat bius pasca dikuret justru bikin otakku lebih lancar. Monggo mawon mas penyair bisa mengeditnya dengan bijak. Syukron katsiir. (Ini waktu jumlah karakternya masih 7800an dan kukirim kesorean tadi)


Ilaa Mas Penyair (kali kedua):
Alhamdulillah, editan terakhir bisa ta pepet jadi pas 7000 karakter. Mas (njenengan yo ora pantes ta timbali Mbah. Lha wis tuwek tenan njenengan ki, ngko ta timbal Eyang Kakung sisan), nek siap dimedunke, koyo biosone, matur sembah pangapuro, ojo kesupen kei kabar (081179xxxx). Sirahku wis mumet ki demi ngerampungke janji lan njenengan. Jazakallah khairan katsiir, sanget-sanget.


Mas Penyair adalah panggilan saya untuk Sudarmono, redaktur resensi buku Lampung Post - ketika itu
Share:

1 komentar:

  1. wah ini tulisan lama ya. ehm... tapi tetap saja AAC lebih menarik di dalam novel saja.

    BalasHapus

Komen apapun berharga. Sila.

welcome to detti's blog

communication scholar & practitioner, hopefully being lifetime citizen journalist, simply laid back ambivert

Mengoptimalkan Google Alerts untuk Media Monitoring

Menyusun panduan optimalisasi google alerts ini sekira dua bulan sebelum ramadhan tahun lalu. Belum sempat di- digital archive , apa daya fi...

Popular Posts