Jumat, 29 Oktober 2010

Dewasa dari Muswil ke Muswil


Memorabilia Lima Tahunan Itu
Muswil PKS Di Mata Seorang Emak-Emak:
Untuk Dikenang dan Semoga Bisa Diambil Pelajaran

adi rahmad's framework


Prelude

Muswil.

Ini momen lima tahunan. Tak ubahnya pemilu, olimpiade (oke, oke ... yang ini empat tahun sekali), pergantian Sekjen PBB. Prinsipnya, ia sesuatu yang ditunggu-tunggu.

"Ini momen spesial, Mbak. Untuk yang seperti ini, bukan reporter yang saya kirim. Biasanya saya sendiri yang langsung turun," tutur redaktur politik sebuah harian. Dan benar, di dua kesempatan sepanjang muswil ke-2 kita ini, beliau sendiri yang hadir. Terimakasih Mas Dominikus Widodo.

Muswil Ke-2. Ada yang sama sebagaimana situasi lima tahun yang lalu. Tapi juga ada banyak hal baru.

Salah satu yang sama adalah muswil yang lalu maupun sekarang membuat semua yang terlibat di dalamnya makin "kaya", tentu saja bagi yang pintar-pintar menggali "kekayaannya."

***

Under Pressure

Iklan hari ini muncul di koran mana? Kok saya cari-cari nggak ada. Harusnya sudah ada yang muncul sejak senin pekan lalu.

Kepala yang sudah berputar karena 'zhabu-zhabu' (ini versi morning panic saya setiap menyiapkan anak-anak sekolah dan suami ngantor. Kedua bidadari kecil sering meledek ibu mereka yang gupek setiap pagi dengan: "Zhabu-zhabu! ... Zhabu-zhabu!"). Jadi, zhabu-zhabu ditambah membaca sms seperti ini ... bisa dibayangkan bagaimana akselerasi perputaran di kepala ini.

Mohon maaf Mr. Secretary, entaran aja ya saya jawab sms sampeyan.

Sms-sms serupa subhanallahnya masuk secara frekuentatif. Ya, memang sudah tugas beliau untuk ngecek. Saya tahu. Dan sebetulnya yang paling mengganggu pikiran adalah, setiap sms dan setiap protes menandakan adanya pekerjaan yang belum beres. Allah ...

Rotasi bumi terasa begitu cepat. Berpisah dengan Rabu yang lalu, segera berjumpa Rabu yang baru [hari Rabu adalah jadwal rapat panitia muswil. Supaya efektif, rapat humas saya dekatkan dengan 'rapat paripurna panitia']. Dan di Rabu yang baru, humas muswil belum bisa men-checklist satupun amanahnya. Belum satupun yang selesai, baik iklan, spanduk, baliho, rilis, dan ini dan itu, dan banyak lagi.

Allah ...

Ponsel mungil berdering-dering. Julhai.

"... proposal-proposalnya saya tarok di ruang sekretariat ya, Mbak." Singkatnya, ada tambahan pekerjaan untuk para awak humas: mengantarkan surat dan proposal.

"Bisa minta tolong OB atau sekretariat ga sih, Jul?"

"Humas kan banyak tuh Mbak. Kayaknya semangat-semangat anak-anaknya."

Allah ...

Benar. Humas memang punya tenaga-tenaga segar, tapi pemberdayaan mereka lebih pada bab "minta tolong". Nggak bisa pake bahasa instruksi, akhi. Dan humas masih diposisikan jadi "tukang pos"? Please deh.

Masih di Rabu yang baru. Rasa tak karuan sejak subuh. Sugesti 'harus sehat ...harus sehat' dikombinasikan dengan teh manis dan nasi kuning yang dibeli Si Babe rupanya tak cukup mujarab membuat badan lebih fresh.

Bismillah sajalah. Insya Allah sehat.

Siang yang ramah. Zebra merah melaju menuju Untung.

Di ruang pojok yang sebetulnya sangat tak representatif untuk rapat ikhwan akhwat sesesak ini, rapat humaspun berjalan riuh seperti biasa.

Setiap bagian dari tim ini memang masih belajar, namun kurasa ini tim yang berenergi. Sungguh aneh, tim macam ini belum juga sukses menghasilkan satupun produk humas. Jika demikian, maka kesalahan terbesar tentu saja ada pada ... Jemari yang tak menunjuk pada sesiapapun kecuali diri sendiri.

"Desain spanduk bukannya belum jadi. Sudah ada beberapa desain. Tapi banyak komplain. Nggak sesuai standar," cetus saya seraya melingkarkan tangan menghalau dinginnya AC yang pada kondisi normal biasanya saya akrabi.

"Iya, Bu," cetus Budi, anak Bekasi mantan Menteri BEM yang menurutku 'sudah jadi' ini. "Desainnya nggak seperti yang biasa dia buat. Katanya agak takut bikin yang macem-macem."

"Saya sudah sampaikan, out of box aja. Jangan desain yang biasa-biasa. Buat beberapa alternatif. Tapi ya sudahlah, sepertinya memang harus ngontak Adi lagi."

Dan nama yang disebut terakhir ini memang begitu soibuknya. Begitu dinanti setiap rapat, begitu dibutuhkan, tapi wujudnya selalu ada di belahan bumi yang lain ... [untuk Ni, walau bagiku sikapmu tetap kekanakan, pada akhirnya ku bisa mengerti apa yang kau maksud 'tak cocok' itu. Dan tak jarang "ada di belahan bumi yang lain" itu juga kurasakan terjadi padamu. Syukurnya ini temporer kan].

Denyut mulai merata di sekujur badan. Dan rasa-rasanya gejala sesak yang muncul tak setahun sekali ini kumat pada saat yang "sungguh tepat". Kembali melantunkan 'zikir' yang sama: "Ya Allah, masih kuat... masih kuat ...".

'Me, Bita mau main game!"

Mantap, satu imtihan lagi. Si Sulung yang alhamdulillah hari ini sosorangan wae tanpa kedua adiknya. Biasanya rengekan serupa saya jawab dengan tatapan panjang tanda tak setuju. Tapi saat ini rasa-rasanya kedua tangan lebih nyaman tetap melingkari bahu daripada menekan keypad netbook.

Rapat tetap mengalir.

Ide-ide bermunculan. Nadhil, Budi, Una, Ima, Nda, Nashar - yang sore itu masih menjangkar di Jakarta -, dan Bintun, diperjumpakan pula dengan Ni, Adi, dan Nugie, memang aset brilian dengan gaya dan karakter mereka masing-masing. [Semoga kalian belajar banyak ya teman-teman...]

"Jadi, pra-muswil yang tanam pohon itu tetap jadi, Mbak? Kenapa ngotot tanam pohon? Isunya nggak seksi banget," tukas Nadhil. Ikhwan potensial yang tumbuh dalam limpahan kultur tarbawi ini memang outspoken. Tapi kurasa ia menyampaikan keberatan yang sama ada dalam kepala rekan-rekannya.

Saya mengangguk.

"Kita tidak dalam posisi untuk mempertanyakan mengapa bapak-bapak itu bersikeras meluncurkan program yang tidak terterima oleh media. Cukuplah kita melakukan tugas kita sebagai humas dengan baik." Entahlah, mungkin kata-kata itu meluncur dalam keadaan setengah sadar ...

Namun sore itu, skejul humaspun selesai dibuat. PJ sudah dibagi-bagi. Alhamdulillah...

Adzan ashar mengalun dari mushola.

Maka saat kaki melangkah untuk break sholat di ruang bidang wanita alias bidwan, pandanganpun mulai berkabut. Berkabut dan berputar. Ah, ah ... cocoknya.

"Panas amat badan lo. Gw usepin minyak kayu putih ya ..." Subhanallah, pasti rasanya enak banget. Walau nyaris ga berasa apa-apa karena sudah melampaui ambangnya, mungkin. Jazakillah anyway, Ni.

Be, tolong anterin pulang ya. Saya ga kuat bawa mobil.

Begitu di layar terbaca sent, ponsel mungil dengan batre ngedrop inipun mati.

Waktunya paripurna panitia. Kepala saya benar-benar tak bisa tegak.

Allah ...

"Mbak Detti mana? Dah dipanggil rapat tuh," suara maupun kelebat badan bongsor Nadhil tak begitu jelas dari balik pintu bidwan.

"Tepar!"seru Ni. "Udah tolong ijinin aja. Dia sakit."

Rapat Rabu kali ini, Allah anugerahi asma yang kambuh bersama vertigo, mungkin agar saya tak mendengar humas - lagi-lagi - dihujani target dan tenggat yang selalu lewat. Maafkan saya teman-teman.

Saat menyampaikan khitob qiyadi-nya, satu kalimat yang kemudian terdengar begitu indah diucapkan Sekjen PKS Anis Matta: "Kejayaan dakwah hanya bisa diraih oleh orang-orang yang mampu bekerja under pressure."

Ya, sesaat ambruk ... untuk segera bangkit.

Tak mudah. Ada salah paham. Ada jam tidur yang harus digadaikan. Ada kebersamaan keluarga yang dikesampingkan. Ada perhatian yang harus terbagi. Namun pada akhirnya 'sembelit' itu sembuh juga. Iklan muncul di koran-koran, spanduk, beranda keadilan edisi muswil dengan kertas art paper (ahh...), media gathering (done!) dan sederet checklist humas yang pada akhirnya bisa diberi tanda centang.

Alhamdulillah.


Bersambung: Mengasah Batu Mulia
Share:

1 komentar:

  1. Like it...
    Like it...

    Jadi banyak merindukan seperti itu...
    ^_^

    BalasHapus

Komen apapun berharga. Sila.

welcome to detti's blog

communication scholar & practitioner, hopefully being lifetime citizen journalist, simply laid back ambivert

Mengoptimalkan Google Alerts untuk Media Monitoring

Menyusun panduan optimalisasi google alerts ini sekira dua bulan sebelum ramadhan tahun lalu. Belum sempat di- digital archive , apa daya fi...

Popular Posts