[Melampaui banyak hari dan hikmah yang ingin dituliskan. Namun agaknya daya harus berkejaran lebih keras lagi. Posting makalah inipun sekedar harapan agar hidup yang hanya sekali ini meninggalkan jejak berarti. Semoga manfaat.]
Ba’da salam,
tahmid wash shalawat.
Yang kami
hormati unsur DPP - Wilda Sumatera yang insyaallah akan segera hadir. Para
ustadz ustadzah anggota dewan terpilih maupun khususnya yang telah dilantik.
Para ustadz ustadzah yang berkenan hadir dalam forum ini. Sebelumnya
terimakasih atas kesempatan yang diberikan untuk menyampaikan pentingnya humas
bagi aleg-anggota legislatif/ dewan.
Sesi ini perlu
terus diingatkan bahwa humas sangat penting bagi anggota dewan. PR – Public
Relation – humas yang cakupannya bukan hanya kliping koran atau
–konyolnya – tukang antar surat, tapi humas yang mencoba menjadi jembatan
informasi antara anggota dewan dengan stakeholders yang kepadanya ia harus
melakukan komunikasi.
***
Jika kebutuhan
untuk branding agak kelewat advance untuk dipahami, mari kita
mulai terlebih dulu dari yang lebih praktis, yaitu bagaimana membangun
komunikasi.
Kemarin, via
whatsapp kami mengadakan survei kecil-kecilan persepsi kader tentang
anggota dewan PKS. Pertanyaannya hanya 3. Pertama, apa persepsi yang tertangkap
jika mendengar kata “anggota dewan PKS?”. Kedua, apakah persepsi tsb muncul karena – pilih salah satu: a.
Kenyataannya memang demikian. Anda tahu betul keadaannya memang begitu, atau b.
Sekedar mengira-ngira. Sejatinya tidak punya informasi yang cukup.
Untuk
pertanyaan kedua ini – seperti diduga – sebagian besar menjawab b. Mereka tidak
punya cukup informasi . Ketiga, apakah mereka setuju jika fraksi/anggota dewan
PKS membangun komunikasi yang lebih intens dengan kader? Jika ya, apa saja
bentuk perangkat komunikasi anggota dewan PKS dengan kader yang paling efektif.
Saran-saran terkait poin ketiga ini luar biasa. Ada yang bahkan minta update
harian via online dari para anggota dewan PKS se-Lampung.
Merujuk sepanjang
5 tahun yang lampau, kader yang kami survei menyatakan sepertinya ada
keengganan, sepertinya, dari anggota dewan kita untuk berkomunikasi atau
menyampaikan apa yang telah ia kerjakan kepada kader maupun publik. Sekali lagi
ini mungkin asumsi yang tidak bisa gebyah uyah, tapi kita patut beranjak dari
sini.
Mengapa
enggan membangun komunikasi?
Mengapa masih
muncul persepsi bahwa anggota dewan cenderung enggan membangun komunikasi
dengan publik maupun kader? Ada tiga kemungkinan yaitu pertama, secara
individual masih ada anggota dewan yang perlu di-upgrade dalam hal
kemampuan berkomunikasi terutama dengan publik. Mengingat banyaknya sarana
bimtek dsj, tentu upgrade kemampuan komunikasi publik – secara
individual – bukan sesuatu yang terlalu rumit dilakukan anggota dewan. Secara
praktis, kerja-kerja komunikasi publik juga dapat terbantu dengan menghire
staf atau asisten yang punya kemampuan membuat rilis dan mengelola media
sosial.
Kedua,
korelasi antara keterbukaan dengan akses publik dan akuntabilitas. Alasan ini
agaknya perlu digarisbawahi. Jadi, enggan membangun komunikasi bukan karena
tidak mampu berkomunikasi, namun kuatir semakin besar akses publik pada
ujungnya membuat tanggungjawabnya lebih besar. Kuatir ia lebih “mudah
diganggu”. Namun toh, bukankah anggota dewan memang pejabat publik? Bukankah berkomunikasi
dengan publik adalah sesuatu yang niscaya? Dapat terpilihpun tentu karena
membangun komunikasi dengan masyarakat.
Ketiga,
alasan keamanan dan strategi. Tentu saja tidak semua hal perlu disampaikan ke
publik pun kader. Hal-hal yang strategis dan cenderung ‘berbahaya’ jika
dipublikasi, tentu saja harus disimpan baik-baik. Benar bahwa humas bukan hanya
bermakna bicara, sebar, dan sampaikan, namun juga harus pandai memilah mana
yang tidak boleh dibicarakan, disebarkan, dan disampaikan.
Yang jadi soal
jika semua hal terkait dewan menjadi top secret :D ... Sedangkan di sisi lain
ada kader yang minta diberi info kegiatan dewan setiap pekan sebagaimana
taklimat tarbawi :DD ... Ini tentu dua ekstrim yang berlebihan. Frekuensi bisa
disepakati tri wulanan, atau semesteran, atau minimalisnya tahunan. Merujuk
salah seorang al-akh yang menjawab survei kami, “Jangan sampai, sudah
lima tahun begitu kami mau direct selling ‘menjual’ anggota dewan, kami
tidak tahu apa-apa karena memang tidak
pernah menerima informasi tentang dewan yang mau diperjuangkan.”
Memilih untuk tidak mau berkomunikasi sudah menjadi bentuk komunikasi itu sendiri.
Demikianlah.
Pilihan untuk tidak mau berkomunikasi justru menjadi sarana ampuh untuk
mengomunikasikan bahwa memang “anggota dewan PKS sama saja dengan anggota dewan
yang lain”. Publik secara sederhana membuat kesimpulan karena tidak ada
diferensiasi pada anggota dewan PKS. “Kami sudah bekerja 5x lebih keras,
mengapa masih dianggap sama saja dengan yang lain?” Sederhana, karena anggota
dewan PKS enggan – atau tidak sempat? atau beranggapan tidak penting – untuk mengomunikasikan
perbedaannya. Mohon maaf jika asumsi ini salah.
***
Titik
Nadir Jembatan Informasi Dewan-Kader
Anggota
dewan PKS setidaknya harus membangun komunikasi dengan 6 pihak yaitu (1) mitra
– pemerintah maupun swasta, (2) tim intra fraksi (F-PKS) dan struktur partai, (3)
anggota dewan lintas partai, (4) kader, (5) konstituen, dan (6) publik [dengan
tidak mengurangi rasa hormat dan menafikan komunikasi dengan
istri/suami/keluarga anggota dewan yang tentu juga sangat penting. Upaya menghadirkan
istri/suami anggota dewan dalam pembekalan dewan kali ini pun patut diapresiasi).
Anggota
dewan – terutama para petahana – tentu sangat mafhum dan lebih fasih soal
bagaimana berinteraksi dengan keenam stakeholder tersebut. Terkait humas
dewan, mari kita lebih merujuk pada komunikasi antara anggota dewan PKS dengan
3 unsur terakhir yaitu kader, konstituen, dan publik.
Ada
pengalaman menarik ketika menemani beberapa akhwat direct selling (DS)
di kampanye pemilu legislatif yang lalu. Jadi ada seorang bapak yang protes dengan
menyebut dua anggota dewan kota dan seorang anggota dewan provinsi (dari PKS)
yang saya sangat tahu bahwa yang beliau tuduhkan tidak benar. Paling tidak saat
itu, sepanjang yang saya mampu jelaskan, saya bisa membela para anggota dewan
yang disebut-sebut.
Tapi mari bayangkan
ikhwan akhwat kita terjun DS lima tahun yang akan datang. Apakah mereka bisa berargumen
dengan kondisi yang sama, yang didasari kepahaman karena memiliki informasi
tentang para anggota dewan PKS sehingga bisa memberikan pembelaan? Dengan
minimnya pemahaman akan pribadi maupun kinerja dewan, tentu sulit bagi kader
untuk all out memperjuangkan anggota dewannya.
Hasil pemilu
legislatif 2014 semakin membuktikan bahwa kader adalah mata tombak paling tajam
pemenangan pemilu. Membangun optimisme bahwa kader pasti berhusnudzon dengan
para qiyadah dan berharap mereka habis-habisan memperjuangkan anggota dewannya,
namun tanpa bekalan info yang cukup, tentu amat naif.
Kader harus
menjadi titik tekan bagaimana seharusnya humas dewan berperan. Ke depan, amat
sangat dibutuhkan jembatan informasi berkala antara anggota dewan di semua
level dengan kader. Ketika kader tahu bahwa anggota dewan sungguh-sungguh
bekerja dan bersedia membuka jalur komunikasi, maka segala zhon tentang rumah
baru, mobil baru, dsj insyaaLLah menjadi tidak relevan lagi. InsyaaLLah.
Dengan
konstituen dan publik, anggota dewan perlu mengombinasikan seluruh sarana
komunikasi baik tatap muka, media massa konvensional, maupun media sosial.
Sarana komunikasi yang paripurna 360°.
Sekedar catatan khusus tentang relasi anggota dewan PKS dengan pers, amat
disayangkan jika di periode mendatang masih ada anggota dewan yang alergi
berhubungan dengan pers/wartawan dengan alasan apapun termasuk alasan bahwa
berita media massa tidak punya efek terhadap pemerolehan suara.
Belajar dari
hantaman sepanjang 2013-2014 termasuk yang bertubi-tubi via media, di periode
2014-2019 ini hoping for the best but expecting the worst, kita tak
berharap ada isu yang negatif keluar dari anggota dewan – pun pejabat publik
PKS lainnya. Namun apabila kemudian ada yang negatif yang keluar dari pejabat
publik kita, setidaknya kita sudah tahu harus melakukan apa. Jika perlu ada pelatihan
mengelola isu negatif berdampingan dengan pelatihan humas lainnya.
Khatimah
Anggota
dewan memang salah satu elemen saja dalam partai dakwah ini, namun ia masih
merupakan etalase partai. Jika seluruh kader diposisikan sebagai humas, maka
sesungguhnya anggota dewan PKS menempati posisi bersisian dengan pimpinan
partai dalam hal representasi humas partai, bukan semata Ketua Bidang Humas :D.
Anggota dewan sejatinya adalah humas partai itu sendiri.
Fungsionalisasi
humas anggota dewan PKS – sebagaimana pemenuhan indikator kinerja dewan lainnya
– secara ideal hendaknya diback-up oleh struktur. Idealnya, setiap fraksi PKS
memiliki staf khusus yang menjalankan fungsi sebagai humas. Minimal
fungsi-fungsi kehumasan dewan bisa dititipkan pada asisten/staf. Jangan sampai
ada keraguan lagi bahwa anggota dewan PKS harus membangun komunikasi dengan publiknya.
Tentu masih
bergelayut semua harapan pada anggota dewan. Namun saya setuju bukan saatnya
lagi menambah beban anggota dewan dengan harapan-harapan yang hiperrealitas, harapan-harapan
yang melampaui kemampuan anggota dewan untuk memenuhinya. Saatnya anggota dewan
dibantu untuk dapat menggenapkan muwashofatnya dengan baik dan kelak mengakhiri
amanahnya dengan husnul khotimah.
Wallahu
‘alam.
· “PR-ing
Legislators; Humas Bagi Anggota Dewan, Perlukah?” ~ppt attached.
Disampaikan dalam Konsolidasi dan Pembekalan anggota
DPR/DPRD kabupaten-kota dan provinsi dari PKS se-Lampung. Minggu, 24 Agustus
2014 | dengan penyuntingan agar sesuai untuk dikonsumsi dalam bentuk makalah.
0 komentar:
Posting Komentar
Komen apapun berharga. Sila.