Selasa, 09 November 2010

Valentino Rossi dalam Wujud Ummahat

Memorabilia
Dewasa Dari Muswil Ke Muswil

Chapter 4
Menuju Keseimbangan

[Untuk episode yang ini, mungkin saya harus kembali melekatkan sub chapter
Muswil PKS Di Mata Seorang Emak-Emak ...
Teruslah membaca. Anda akan mengerti mengapa. Dan maaf bila episode ini juga terbaca menjadi episode yang sangat emosional ...]

Bersama Ketua Panitia, Mr. Secretary, Ibu Bendahara, sudah melampaui tahun demi tahun – bukan sekedar satu periode kepengurusan lembaga atau partai – untuk lagi-lagi berada dalam anglo besi tempa yang sama.

”Setua” ini orang-orang sezaman yang tersisa. Dan ”setua” ini untuk kembali mengurusi teknis yang sangat teknis. Bersedia jadi panitia muswil sama dengan bersedia dikungkung penjara teknis dan teknis.

”Afwan. Apakah saya tidak ’terlalu’ tua untuk mengurusi yang begini?”

”Apakah gedung megah ini sudah kehabisan orang yang bisa jadi estafeta pelaksana teknis sehingga 4L terulang dan terulang lagi?”

Tapi sejurus: DAR !!! ... Jidat serasa tertembak laras pistol yang pelatuknya ditarik telunjuk tangan sendiri.

Baik mundur dengan mengendap-endap, maupun menolak dengan memproklamirkan, rasa-rasanya sama saja dengan mengambil andil kian jauhnya jarak kejayaan dengan realitas. Menjadi pengamat di kejauhan ...

Dan jika benar ingin diwujudkan, maka dimana menguapnya berbagai fikroh tentang al-wajiibatu aktsaru minal waqtiha? Tentang sedikitnya jumlah rawhilah (penanggung beban)? Tentang jalan yang so’bun tsaabitun ini?

Apakah hanya fasih terucap ketika mengajarkan makna dan urgensi amal jamai di forum-forum liqoat?

Tapi ketiga kanak-kanakmu? Yang semuanya masih butuh bergelendot di leher dan lutut ibunya? Yang bukan sekali dua demam tinggi pada saat kau harus rapat atau berangkat dengan kijang silver DPW?

Dan jangan lupakan kontrakan yang sudah menjelang tenggat?

Atau diamnya belahan jiwamu tanpa terucap protes satu katapun ketika kau pulang saat malam sudah sangat hitam (untuk suamiku, anugerah Allah untuk diri yang sedemikian rupa ini. Tak hingga syukurku atas keridhoannya, walau tentu saja iapun pasti punya batas ... Terimakasih atas kesabaran dan kelapanganmu dari hari ke hari, Be).

Lalu ibumu yang seorang diri di rumah besarnya, yang sesekali menelpon tanpa sejujurnya mengatakan bahwa ia sebetulnya ingin dijenguk. Bahwa ia rindu cucu-cucunya (meleleh selalu jika ingat dirimu, Ibu ...).

Dan bagaimana mungkin bisa kau abaikan tak kurang dari 34 putri-putri tarbiyah yang bukan saja butuh asupan fikroh, namun juga butuh ditelateni, butuh didengarkan tiap masalahnya ataupun diluruskan, butuh waktu dan perhatianmu ... – hingga kesadaran muncul bahwa setiap mutarobbi tak ubahnya Tsabitah, Tsaqifa, atau Syahid yang adakalanya ingin menggelayut. Menggelayut di tatapan matamu ...

... perkenankan kuseka dulu sudut mataku ...

***

Pada setiap ego yang menyelusup, aku sungguh ingin menolak. Atau setidaknya minta pembenaran, mengapa Si A dan Si B boleh mundur diam-diam? Sedangkan kami harus kembali ’dipisahkan dari kehangatan rumah kami’?

--  Mangkat esuk, balik mbengi, ya Sabiq? –
Berangkat pagi, pulang malam.

Allah Maha Penghibur Jiwa. Dan Dia pulalah yang menggerakkan hati. Biarlah al-faqir dan Dia saja yang tahu ...

Maka akhirnya, akupun mengangguk.

Setiap anggukan membuatku menerawang pada satu masalah: Keseimbangan.

Keseimbangan.

Mudah menjaga tetap seimbang jika merayap 20 km/jam.

Longing to see your smile again, my sister.

Keseimbangan hati, sikap, perhatian, ruhiyah ...

Betul saudariku, sulit untuk tersenyum ketika kaki harus tercerabut begitu rupa. Mungkin aku memang belum bisa seimbang. Bahkan untuk menarik sudut bibirpun.

Tapi jika roda berputar 2000 rpm? Bak Jorge Lorenzo atau Valentino Rossi. Harus sigap menjulurkan puncak lutut dan memiringkan motor setiap jumpa tikungan tajam.

Lalu bagaimana caramu melakukan itu? Menjaga keseimbangan itu?

Tidak ada jawaban jitu. Lakukan saja. Tentu ada jatuhnya, ada rasa sakit, ada yang dikorbankan (lagi-lagi mengenang ... mengenang pilihan yang pernah dikorbankan karena roda yang dulu juga berputar begitu cepat. Allah Maha Penolong ... Ada yang jatuh lagi di sudut mata. Maaf.).

Jadi bagi para ibu yang hari-harinya diwarnai rengekan anak karena radang tenggorokan ataupun yang merajuk sekedar ingin jajan di minimart ... Jika Anda menerima amanah itu, amanah yang akan merenggut zona nyaman Anda, maka jangan banyak berpikir. Lakukan saja. Allah Maha Penolong. Inna nashrullahi qoriib ...

***

H-1/2. Syahid mulai demam. Saat aku – dengan teganya (sebagian pasti berpendapat begitu) – nekat membawa ia ikut menjenguk Mas Boy bada isya itu. Agenda ini tak mungkin dibatalkan. Mbak Min, istri Mas Boy, sudah mengiyakan untuk menerima kami berkunjung.

Maka akupun – dengan Syahid di gendongan kangguru – berangkat dari rumah pink Ratu menuju Untung Suropati dengan mengendarai motor. Ya, naik motor.

”Kok ga ditinggal aja sih sama Bapaknya?” Begitu kan protesmu, Ni?

Si Babe sudah ditinggali anak dua. Syahid pasti rewel tanpa ’bau’ ibunya. Bukan pilihan mudah, tapi bismillah ... insya Allah, Allah menjagamu, Nak.

Setelah melalui intermezo kumat spaningnya Mang Yanto, kijang Silver berangkat membawa aku, Ni, Budi, Nadhil, & tentu saja baby boy Syahid.

Badan Si Kumplak panas. Tapi ia tidur sepanjang perjalanan, pulang dan pergi. Menengok Mas Boy yang sakit, dengan membawa anak yang sakit ... Allah Maha Penolong.

Ada kebahagiaan, akhirnya bisa berjumpa dengan salah satu guru jurnalis itu, dalam keadaan yang ternyata begitu progresif. ”Semangadh!” ujarnya. Dan tambahan satu kosa yang menurut istrinya baru terucap malam itu: ”Pasti!”

”Sudah dijenguk seperti ini sudah jadi obat buat Mas Boy,” aku istrinya.

Alhamdulillah. Blessing in disguise.

Lalu esoknya, jẻng- jẻng -jẻng ... muswil time. Media gathering, memastikan kehadiran seluruh insan pers (dengan speaker ponsel melekat di telinga), Beranda Keadilan, ku sendiri harusnya duduk manis jadi peserta muswil ... dan panas Syahid belum jua turun. Batuknya menggelisahkan.

”Saya kuatir dia asma, Kak,” gundah saya malam itu. Nafasnya tampak kepayahan.

Tapi dia, Si Babe, memang selalu jadi yang menguatkan (jangan geer lo, Be. Kadang lu nyebelin juga. Hehe .. pis tupas tapis, piss ya, Say...).

”Insya Allah batuk biasa. Kalau batuk, kan nafasnya jadi susah.”

Malam menjaga Syahid, dan malam saat tiap senti otak bergelimang kekuatiran celah ketidakberesan kerja humas di muswil esok.

Tak bisa tidak, Syahid – Ukasyah Rosyid kami – harus ditinggal sepanjang muswil. Lagi-lagi, bukan pilihan yang mudah, Ibu-ibu sekalian ...

”Bita pengen berenang. Itu Azmi boleh berenang. Kenapa Bita ga boleh?”

Senandung itu lagi. Maka akupun ikut bersenandung. Ada janji yang tentu akan ditagih oleh Si Ayuk yang cerdas dan keras ini.

”Azmi ditemani Mbak Ami. Siapa yang temani Bita? Bita boleh berenang, tapi tidak hari ini. Mame janji!” (And the promise have done. Alhamdulillah).

Ibu jadi salah satu penolong terbesar 17 Oktober itu. Sekali lagi, Allah Maha Penolong. Si Nenek yang biasanya punya agenda aktivisnya sendiri, baik BKOW, kondangan, pengajian atau arisan, alhamdulillah sepanjang hari itu full day off.

17 Oktober 2010. Bagai atom-atom yang berloncatan ... Dan panitia humas yang baru makan malam pukul 01.00 pagi.

Tapi usai juga.

Alhamdulillah.

***

Dua teman yang sama-sama minta solusi atas masalah rumahtangganya, datang saat roda berputar 2000 rpm.

Mungkin Allah kirimkan mereka datang padaku agar ku bisa bercermin perihal keseimbangan.

Yang satu, pasutri cerdas luar biasa. Anak semata wayang mereka seusia Tsaqifa sudah punya kewajiban belajar trilingual: Indonesia, Inggris, dan Jawa halus. Menikah di jalan tarbiyah. Namun Ramadhan dan Idul Fitri justru membawa mereka memutuskan pisah rumah. Ketiadaan murobbi (alias putus liqo) membuat mereka butuh seseorang yang bisa disebut ”mediator”. Aku dan salah seorang ustadz yang mendapat kehormatan itu.

Dan mediator harus mendengarkan keduanya, tentu saja. Termasuk segala yang terburuk. Aib-aib, baik yang dipaparkan maupun yang tersirat.

Sampai tulisan ini diketik, proses ’mediasi’ masih berlanjut. Semoga akhir terbaik saja yang terjadi ...

Lalu, seorang sahabat yang lama tiada kontak. Mengirim pesan pendek setelah melihat namaku wara-wiri di koran. Perih baca smsnya.

Tolong carikan aku kerjaan, Ti. Di partai, di koran, gpp. Kubutuh backup kalo nanti jadi pisah sama bapaknya anak2 ... (Perih, bukan?)

Oalah say, partai tempat mengabdi. Malu minta gaji. Kalau mau kerjaan, yang bisa kutawarkan adalah momong tiga bocah di rumah pink Ratu.

Bagai telaga yang memantulkan bayangan wajah sendiri. Cukup dengan tepukan lembut, basahlah wajah itu terkena airnya.

Keseimbangan.

Ketika urusan publik dan domestik tak lagi jadi seteru.

Ketika urusan kuliah dan dakwah tak lagi dibentur-benturkan.

Ketika distribusi amanah ke semerata kader – tentu saja sesuai kapasitasnya – diberi perhatian sebagaimana perhatian untuk menyempurnakan bentuk piramida.

Keseimbangan yang memang dituntunkan oleh dien ini. Oleh para rasul dan sayyidul ’anam, Rasulullah saw. Karena ini memang dien tawazun.

Menjaga keseimbangan, hingga jumpa Izrail ...


Bersambung
Episode terakhir Memorabilia Muswil: Ruuhul Jadiid


Baca juga





Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Komen apapun berharga. Sila.

welcome to detti's blog

communication scholar & practitioner, hopefully being lifetime citizen journalist, simply laid back ambivert

Mengoptimalkan Google Alerts untuk Media Monitoring

Menyusun panduan optimalisasi google alerts ini sekira dua bulan sebelum ramadhan tahun lalu. Belum sempat di- digital archive , apa daya fi...

Popular Posts