Berat, Kawan ...
Begitulah amanah berkolerasi dengan pengorbanan. Dan yang dikorbankan biasanya adalah apa yang paling dicintai. Padahal apa yang dicintai itu juga adalah amanah itu sendiri (serangan mellow niscaya melanda tiap wajah Tsabita, Tsaqifa, Uu, juga nenek mereka ... berkelabatan. Ah ...).
***
Bukan. Bukan karena amanah semacam yang kugenggam ini tak saja minta pengorbanan waktu dan tenaga, namun yang paling menggalaukan ia punya potensi menggerigiti ikhlas tiada habis. Tak lain karena ia memaksa sesiapa yang jadi penggenggamnya untuk berada di panggung.
Ketika ada situasi semua nyaman di bangku penonton dan being nice crews behind the screen, lalu siapa yang sedia ambil microphone di depan? Yang harus menatap mata jutaan penonton panggung, menjelaskan dengan suara yang tak jarang jauh dari merdu. Besar resiko diteriaki huuu..., ditimpuki bunga beserta potnya?
***
Tentu saja ada orang lain itu. Banyak nian.
Tapi ada, tersedia, bukan berarti "hadir". Sudah jernih jalan yang dipilih. Sudah lekat apa yang jadi tekad.
Maka hadirlah aku di sini. Mengusir setiap godaan untuk setengah hati.
Bismillah. []
Note:
Di sela waktu tersisa dan luang yang mewah sangat, semoga serial posting di label ^naif^ berikut dan seterusnya ini - entah sampai ke berapa - bisa dibaca sebagai dangau pelajaran semata. Tak lebih.
0 komentar:
Posting Komentar
Komen apapun berharga. Sila.