Sepuluh tahun lalu, pernikahan adalah wacana keniscayaan namun absurd dalam realitas. Masih bersemangat aktualisasi diri, apalagi menemukan ladang kehidupan yang sesuai dengan visi, tiba-tiba dia yang disebut-sebut siap jadi calon suami ada di seberang sana.
Oh - my - God ..
Maka demikianlah takdir Allah SWT berlaku. Seribu cara mencari alasan berkelit dan menunda, bila Allah berkehendak: Kun!
Tanggal 16 Maret 2003 itu aku menikah. Aku akhirnya punya seorang suami.
Karena cinta memang sulit dikalkulasi kapan ia tiba, maka sulit kuingat kapan cinta itu munculnya. Setelah menikah? Saat taaruf? Atau setelah melahirkan Tsabitah?
'Jadi kau menikahi seseorang yang tidak kau cintai?'
Tentu akan sulit dimengerti oleh mereka yang hanya memahami cinta sebagai sesuatu yang ditumbuhkan sebelum menikah.
Begitulah silogisma anti mainstream itu tumbuh dan kupercaya. Bahwa cinta bukan hanya sesuatu yang given, melainkan juga sesuatu yang harus diupayakan, bahkan diperjuangkan.
Karena cinta sejatinya menekan keakuan. Dalam cinta tak ada nafsi nafsi.
Cinta seharusnyalah memberi, mendengar, menyirami dengan air, memupuk dengan unsur hara, bukan dengan bensin atau air aki. Membiarkannya disinari mentari. Merawatnya dari hama dan gulma.
Begitulah cinta melahirkan segala yang tetiba jadi mudah walau sebenarnya sulit. Jadi indah walau sebenarnya terjal. Jadi seluas samudra walau sesungguhnya sesempit Lorong King Bandar Lampung.
Bagaimana itu semua bisa terjadi? Adakah rumus yang mudah atau teori para filsuf di kitab tebal?
Yang aku tahu hanya meminta agar ku dapat lebih mudah mencinta seseorang yang kusebut suami, kepada anak-anakku, kepada umat, kepada amanah-amanahku. Meminta kepada Sang Maha Cinta.
Mudahkanlah, Ya Allah. [ ]
0 komentar:
Posting Komentar
Komen apapun berharga. Sila.